Rabu, 22 Januari 2014
DZUN NUN AL MISRI
Dzun-Nun Al-Mishri
Oleh Laeli Sangadah (130201007)
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki dan Mahaabsolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.
Tasawuf sering dianggap sebagai salah satu metode alternative yang banyak dipakai manusia untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena yang menarik perhatian sehingga tema-tema actual yang paling menonjol sekarang ini adalah tema-tema sufisme.
Pada abad pertama orang belum mengenal istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya saja, seperti munculnya istilah “nussak”, “zuhhad”, dan “ubbad”. Nussak adalah orang-orang yang menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah; Zuhhad adalah orang-orang yang menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi; dan Ubbad adalah orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-mata kepada Allah. Pada abad ini muncul nama Hassan al Bashri yang terkenal dengan ajarannya khauf (takut kepada Allah, dan raja’(berharap atas kasih Allah).
Kemudian pada abad ketiga muncullah seorang sufi termasyhur, yaitu Dzun Nun al Mishri. Ia banyak menambahkan cara manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan hidupnya adalah mencari kecintaan Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut berpaling dari jalan Allah.
B. Pembahasan
a. Biografi Dzun Al-Misri
Dzun-Nun Al-Mishri nama lengkapnya adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin AL Harun. Ia adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional. Nama Dzun-Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa huruf Nun adalah sebuah simbol yang mempunyai makna spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.
Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. Sebagaimana firman Allah SWT yang rtinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang yang awal dan yang akhir.
b. Perjalanan menuju Mesir
Sejak usia anak-anak beliau sudah dikenal sebagai ahli ilmu, karena kegigihannya dan ketekunan dalam memahami beberapa ilmu pengetahuan agama. Usahanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan tidak ditempuh disuatu tempat saja, tapi ditempat yang berbeda-beda. Ketika beliau berada disuatu negeri orang, beliau pernah ditangkap dan di penjara oleh penguasa Baghdad selama 40 hari. Dan setelah bebas Dzun Nun pulang kenegeri asalnya dan mengamalkan ilmu yang ia dapat. Dalam perjalanan hidupnya Al-Misri selalu berpindah dari satu tempat ketempat yang lain, Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Bagdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah dan Lembah Kan’an. Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).
c. Perjalanan ke Dunia Tasawuf
Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad : "Cukupâlah aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".
d. Pujian Para Ulama' Terhadap Dzunnun
Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan ada seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".
Sebelum Al-Misri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ía adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicàra tentang ahwal dan inaqwnal para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufislik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pernbentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejum lab penulis menyebutnya sebagai salali seorang peletak dasar tasawuf.’
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat AI-Mishri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ía seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya itulah yang rnenyebab kannya harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengari tuduhan zindiq. Akibatnya, ía dipanggil menghadap Khalifah AI-Mutawakkil, namun ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umurn tatkala Ia meninggalkan dunia yang fana ini.
e. Ajaran-ajaran Tasawuf Dzun AI-Mishri
a. Pengertian Ma’rifat Menurut Dzun Al-Misri
Al Ghazali dalam ihya memandang bahwa ma’rifah datang sebelum mahabbah tetapi Al Kalabadi dalam al Ta’arruf menyebut dan menjelaskan bahwa ma’rifah sesudah mahabbah, ada pula yang berpendapat bahwa keduanya merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama, keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan tuhan, mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta dan ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Al-Misri adalah pelopor paham ma‘rifat, Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi—yang kemudian dianalisis Nicholson—dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-sufiah fi Al-Islam; Al-Misri berhasil mernperkenaikan corak baru tentang ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ía membedakan antara ma‘rifat sufiah dengan ma‘rifat aqliyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
Kedua, menurut Al-Misri, ma‘rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma‘riat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifat pada mulanya sulit diterima kalangan teolog sehingga ía dianggap sebagai seorang zindiq dan ditangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat ma’rifat
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu—ilmu hurliwi dan nazliar milik para hakim, mutakalimin, dan ahli balaghah, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Hal ini karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2. Ma’rifat pada hakikatnya merupakan Firman Tuhan dengan Cahaya nurani yang terdalam, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemaran, sehingga semua makhluk tidak punya arti lagi.
Kedua pandangan AI-Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pernbuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyal arti lagi. Melalui pendekatan ini sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya Ia sepenuhnya hidup di dalam Nya dan lewat diri-Nya. Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
b. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ularna,
c. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan ma’rifat tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan jenis ketiga harus disebut dengan ma’rifat Dan ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat (para wali) auliya—lah yang paling tinggi tingkatan nya, karena mereka mencapai tingkatan musyahadah, sebaiknya para ulama dan filosofi tidak dapat mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani Al-Misri mempunyai sistematika sendiri tentang jalan menuju tingkat ma’rifat? Dari teks-teks ajarannya, Abdul Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebaga berikut:
a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, ‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah. adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalàn iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan ma’rifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam Al ma‘rifat, Al-Misri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri, adalah sebagai benikut,
a. Cahaya ma’rifat berupa ketakwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
b. Tidak meyakini bahwa hakikat sesuatu ilmu (batin) mematahkan (hukum) yang lainnya.
c. Banyaknya nikrnat yang dianugerahkan kepadanya tidak membuat lupa dan melanggar aturan-aturan Tuhan.
Paparan Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalarn kondisi apapun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya, Dzun Nun al-Mishri cenderung mengaitkan ma’rifat dengan syari’at, seperti katanya berikut: ” Tanda seorang arif itu ada tiga : cahaya ma’rifa-nya tidak memudarkan cahaya kerendahan hatinya, secara batiniah tidak mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum lahiriah dan banyaknya karunia allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai larangan-Nya.”
Menurut Dzun Nun al-Mishri, Makrifat adalah: karunia Allah yang dilimpahkan pada seorang arif, seperti yang dikemukakannya ketika di tanya: “Dengan apakah kau mengenal mengenal Tuhanmu?” Jawabnya: “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku! Tanpa Tuhanku, aku tidak mungkin mengenal Tuhanku.
Menurut Dzun Nun al-Mishri, tujuan kehidupan para sufi ialah mencapai tingkatan makrifat, dimana tampak hakikat realitas yang dipahami seorang sufi secara ketersingkapan, yang padanya tidak terdapat adanya dampak dari akal budi maupun pandangan lahir. Hal ini adalah sesuatu yang dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah tertentu, yang melihat dengan pandangan batin mereka.
f. Pandangan Dzu An-Nun AI-Mishri Tentang Maqamat Dan Ahwal
Maqamat menurutnya adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang diusahakannya berupa ibadah, perjuangan, latihan dan perjalanan menuju Allah Swt. Pandangan Al-Mishri tantang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu At-taubah, Ash-shabr, Al-tawakal, dan Ar-rida. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyah terdapat keterangan yang berasal dan Al-Mishri bahwa simbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Kendatipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Al-Misri lebih sedikit dibandingkan dengan penulis sesudahnya.
Untuk maqam pertama secara umum seseorang harus menempuh jalan tobat dimana menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dan mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh Al-Abrar justru dianggap sebagai dosa oleh Al- muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah engkau melupakan dosamu. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertobat dan dosa dan keburukannya.
2. Orang yang bertobat dan kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
3. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan tidak dapat dikatakan bertentangan dengan apa yang telah disebut di atas. Pada pembagian Al-Mishri membagi lagi orang khawas menjadi dua bagian sehingga jenis tobat dibedakan atas tiga macam.
Sedangankan untuk ahwal dapat di artikan sebagai pemberian yang tercurah kepada seseorang dari Tuhannya, baik buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Allah sebagai pemberian semata, dinamakan ahwal karena melalui hal tersebut seorang hamba mengalami perubahan dari penampilan lahiriyah seorang makhluk dan kedudukan yang jauh menuju kualitas yang tidak tanpak atas kedudukan yang terdekat, ahwal sebagai perkara yang didambakan dalam tasawuf sebab ahwal benih dari amal, ahwal tidak datang melainkan melalui amal yang benar. Hanya orang yang berlaku baik dan benar yang akan mendapatkan anugerah semacam itu.
g. Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".
Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".
h. Konsep Ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri
Setelah memaparkan sekelumit makna dari nama Dzun-Nun Al-Mishri, maka dibawah ini penulis akan menyampaikan sedikit tentang konsep ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri. Konsep ma’rifah Dzun-Nun tidak bisa lepas dengan makna yang ia dapati dari namanya itu karena namanya itu menunjukkan sebuah kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf Nun yang menjadi sentral kehidupan di dunia ini, maka untuk mencapai sentral tersebut manusia juga harus memakai sentral dari diri manusia untuk bertemu dengan sentral kehidupan ini.
Sentral yang disebut diatas adalah Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari manusia dan untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus mengoptimalkan sentralnya supaya sampai kepada sentral yang hakiki. Mengapa Qalbu atau hati disebut sebagai sebuah sentral, karena pada qalbu ini berkumpul seluruh kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut Dzun-Nun yang biasa dilakukan oleh hati tersebut adalah : emosi, dekat, shahabat, cinta, mengenal, penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad/persatuan, al-hulul/berlebihan, wahdatul wujud/kesatuan wujud, dan wujudiyah/keberadaan.
Ada sebuah perbedaan pengertian yang dimaksud oleh Dzun-Nun dengan penyingkapan, perbedaan ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu : al-Mukasyafah, inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang dimaksud dengan al-Mukasyafah adalah saling keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan Allah yang memberi; inkisyaf, adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah sebagai karunia kepada hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan meminta.
Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak menggambarkan proses tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah pengalaman keterbukaan.
Pada penjelasan diatas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa dirasakan oleh sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan keterbukaan dengan Allah hanya dengan penglihatan hati yang menjadi sentral kehidupan manusia. Menurut Dzun-Nun hati juga tidak serta merta bisa melihat Allah karena hati yang paling dalamlah yang bisa sampai melihat kepada Allah SWT. Sebelum kita langsung kepada hati yang dalam, maka akan disebutkan beberapa lapisan hati yang harus dilalui seseorang sebelum bisa ma’rifah kepada Allah SWT.
Dan lapisan-lapisan tersebut adalah : as-Suduur, al-Quluub, adh-Dhamaair, al-Fuwaaid, as-sir, sir al-asraar, dan Basyirah. Yang dimaksud dengan as-suduur hati yang paling luar, pada fase ini hati mengalami penyempitan dan perluasan, dia tidak bisa konsisten dalam pendiriannya masih tergoncang dan belum istiqamah. Setelah lulus atau berhasil dalam tahapan ini, maka akan masuk lebih dalam lagi kepada tahapan yang kedua, yaitu al-Quluub. Setelah masuk kepada tahapan ini, maka hati seseorang tersebut akan kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya. Selain itu orang yang sudah sampai pada tahap ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam hatinya. Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten dengan keduanya, yaitu tahap pertama dan kedua.
Maka tahap selanjutnya adalah adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menempatkan cahaya qalbu, kalau dia sudah sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan atau biasa disebut dengan indera keenam. Setelah tahap ini maka selanjutnya adalah al-Fuwaaid, pada tahapan ini orang sudah separuh perjalanan untuk menggapai puncak ma’rifah. Jika seseorang sudah sampai tingkatan ini maka orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas apa yang dia lihat atau rasakan. Kemudian tahap selanjutnya as-Sir dan Sir al-Asraar, tahapan ini adalah tahapan yang hampir mendekati kesempurnaan dan mencapai ma’rifah. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan diri kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir, yaitu ketika setiap tahapan tetap terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, maka sampailah pada tahapan Basyirah, yaitu tahapan akhir yang bisa menyampaikan manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT. Dan hal ini disebut dengan ma’rifah.
Menurut Dzun-Nun ma’rifah itu bisa diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu : pertama, ma’rifah tauhid sebagai ma’rifahnya orang awam. Kedua, al-burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifahnya Mutakallimin dan para Filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal. dan ketiga, ma’rifah para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi epistimologi, ada tiga metoda ma’rifah yang berbeda, yakni metoda transmisi, metoda akal budi, dan metoda ketersingkapan langsung. Ma’rifah awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi, sedangkan ma’rifah Mutakallimin dan filosof adalah pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifah para sufi atau aulia, adalah penangkapan dan penghayatan langsung terhadap obyek sehingga ia merasakan dan melihat obyek itu. Dan disini Dzun-Nun menegaskan bahwasanya ma’rifah itu sepenuhnya adalah karunia dan pemberian Allah SWT.
Jadi kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai pada tingkat ma’rifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahap dan dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan bahwasanya adanya perbedaan ma’rifah kepada Allah yang disebabkan oleh kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk. Ma’rifah juga sepenuhnya diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasih sayangnya. Maka seorang hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah tanpa usaha dan anugrah serta karunia Allah SWT.
C. Simpulan
Setelah uraian-uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
2. Ma’rifat yang sebcnarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
2. Pengetahuan khusus untuk para filosofdan ularna,
3. Pengetahuan khusus untuk para wall Allah
Abdul Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagal berikut:
a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, ‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah. adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalàn iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan ma’rifat.
Daftar Pustaka
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta :1973)
M.Sholihin, Tokoh-Tokoh Sufi, (Bandung, Putaka Setia : 2003), hlm.57
Al Fatih Suryadilaga, dkk;Miftahus Sufi , (Teras, Yogyakarta: 2008) hal 132
Azyum ,Ensirdi Azra, dkk.,Ensiklopedi Islam Edisi baru, ( Ichtiar Baru Van Hoeven, Jakarta:2005) hal 345-346
MEMBANGKITKAN TRADISI KEILMUAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI
MEMBANGKITKAN TRADISI KEILMUAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI
Oleh: Laeli Sangadah
A. Pendahuluan
Ilmu merupakan sarana untuk mengembangkan peradaban manusia, tanpa ilmu manusia akan tampak seperti hewan yang berjalan di muka bumi dengan dua kaki. Dengan ilmu manusia akan terangkat derajatnya, yang pada mulanya rendah menjadi agak tinggi, dan yang sudah agak tinggi menjadi tinggi. Maka dari itu hendaknya para manusia mencari dan berusaha mengamalkan segala ilmu yang diperolehnya.
Islam adalah agama yang sangat mementingkan perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menurut islam adalah alat yang membawa orang menuju keselamatan, dan juga alat untuk meninggalkan kegelapan. Banyak sekali hadist Nabi yang mengatakan tentang pentingnya ilmu, bahkan sampai-sampai al Qur’an sendiri mengatakan bahwa ilmu itu sangat penting dan berguna bagi manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Al Qur’an juga memerintahkan manusia untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan seseorang maka akan semakin kokohlah imannya.
Dalam al Qur’an juga diterangkan bahwa tidak ada yang namanya dikotomi ilmu sebagaimana keterangan dalam surah al alaq ayat 1-5. Akan tetapi kenyataannya banyak orang muslim yang mendikotomikan ilmu tersebut, akibatnya ilmu orang islam sulit berkembang.
Dalam islam atau masyarakat muslim terdapat epistemologi yang khusus tentang ilmu dan juga tradisi keilmuan tersendiri. Tetapi ilmu dalam islam atau negara-negara islam sulit sekali berkembang karena terdapat berbagai permasalahan dan problematika yang melanda. Baik problematika tersebut datangnya dari dalam atau dari luar umat islam itu sendiri. Semua permasalahan dan problematika tersebut belum ada pemecahannya sampai sekarang, padahal hal itu harus segera dipecahkan untuk dapat memajukan ilmu dan keilmuan dalam islam. Jika kita menengok sejarah sebentar, maka disitu kita akan menemukan bahwa islam pernah mengalami kejayaan tentang ilmu dan keilmuan. Tetapi sekarang isi kita sulit sekali memajukan keilmuan dalam islam atau masyarakat muslim
Disini, penulis akan membatasi pokok bahasan tentang upaya untuk membangkitkan tradisi keilmuan islam di era globalisasi.
B. Penjelasan
1. Pengertian Ilmu
Ilmu pengetahuan ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian – bagian dan hukum- hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya ( alam, manusia dan juga agama) sejauh yang dapat di jangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya di uji secara empiris dan eksperimental. Menurut Huxley dalam bukunya Sidarta, Ilmu merupakan kegiatan dengannya memperoleh sejumlah pengetahuan yang mampu mengendalikan fakta – fakta ilmiah, maksud pengertian ilmu sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematiskan atau yang diorganisasikan. Ilmu dapat dirumuskan sebagai metode pendekatan terhadap semua dunia empirik, yakni dunia yang terikat oleh ruang dan waktu yang dapat di diamati oleh panca indra.
Dengan demikian , ilmu dapat mengandung unsur – unsur sebagai berikut.
1) Ilmu bersifat rasional. Artinya, proses pemikiran yang berlangsung dalam ilmu itu harus tunduk terhadap hukum- hukum logika.
2) Ilmu bersifat empirikal. Artinya, kesimpulan – kesimpulan yang ditarik dapat ditundukkan pada verivikasi panca indra.
3) Ilmu bersifat sistematikal. Artinya, cara kerja yang runtut berdasarkan patokan tertentu secara rasional dapat dipertanggung jawabkan dan hasilnya berupa fakta- fakta yang relevan dalam bidang yang ditelaahnya dan harus disusun dalam suatu kebulatan yang konsisten.
4) Ilmu bersifat umum dan terbuka. Artinya harus dapat dipelajari oleh tiap orang, tidak terbatas pada kelompok tertentu.
5) Ilmu bersifat akumulatif. Artinya, kebenaran yang diperoleh selalu dapat dijadikan dasar untuk memperoleh kebenaran yang baru.
Ilmu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia,karena kegunaan ilmu tidak terlepas dari kepentingan manusia, artinya ilmu harus membawa dampak positif bagi manusia. Ilmu dapat membantu manusia untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan memprediksi berbagai kejadian baik yang bersifat alami, maupun sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Berkat kemajuan ilmu atau teknologi maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, transportasi, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi. Namun sejak awal pertumbuhan ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan negatif, sehingga ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan untuk memerangi dan menguasai sesama manusia.
2. Sumber Ilmu Pengetahuan
a. ilmu pengetahuan diperoleh dalam telaah umum
Pada pembahasan ini dikhususkan untuk mengetahui bagaimana sebuah ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh. Secara umum ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui proses sebagai berikut:
1) Metode Empirik
Yang dimaksud dengan metode empirik yaitu pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman inderawi dan akal dengan mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman dengan cara induksi.
Dalam metode ini terdapat beberapa unusur yaitu subyek, obyek dan hubungan antara subyek dan obyek. Subyek adalah yang menegatahui atau manusi itu sendiri sebab manusia sejatinya adalah knower dimana dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan untuk dapat mengetahui (dalam arti luas), kemampuan-kemampuan tersebut adalah; (a) Kemampuan kognitif, yaitu; kemampuan untuk menegtahui dalam artinya secara luas dan lebih mendalam seperti; mengerti, memahami dan menghayati – dan mengingat apa yang diketahui. Landasan kognitifitas manusia adalah rasio atau akal. Kemampuan kognitif manusia bersifat netral. (b) kemampuan afektif yaitu kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya seperti rasa cinta, indah dan sebagainya. kemampuan afektif berlandas pada rasa atau qalbu dan disebut pula dengan hati nurani, kemampuan ini bersifat tidak netral. (c) kemampuan konatif yaitu kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan, kemampuan ini menjadi daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan oleh rasa. Adapun obyek adalah yang diketahui baik bersifat a priori maupun a posteriori dan terakhir adalah proses terjadinya hubungan anatara subyek dan obyek.
Metode ini memberikan arti bahwa seluruh konsep dan idea yang kita anggap benar sesungguhnya bersumber dari pengalaman dengan obyek yang ditangkap oleh panca indera khususnya yang bersifat spontan dan langsung, sehingga dengan metode ini panca indera memiliki peranan penting dalam tiga hal; (a) bahwa seluruh preposisi yang kita ucapkan merupakan bentu manifestasi laporan dari pengalaman atau yang disimpulan pengalaman. (b) bahwa konsep atau idea tentang sesuatu tidak dapat diperoleh kecuali didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. (c) akal budi atau rasio hanya dapat berfungsi jika memiliki acuan realitas. Artinya dengan metode ini dapat dinyatakan bahwa credential (keterpercayaan) konsep ilmiah atau teori apapun bergantung pada suatu tingkat substansi berbasis empiris.
2) Metode Rasional
Metode Rasional adalah metode yang menjelaskan hubungan-hubungan rasional yang memberi penjelasan ilmiah ciri-khas keterpahaman (intelegibility) yang khas. penggunaan rasio dalam menperoleh pengetahuan menjadi sandaran metode ini dimana akal atau rasio yang memenuhi sayarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang digunakan dalam seluruh metode ilmiah.
Metode ini menjadikan matematika dan ilmu ukur sebagai model bagi pengetahuan manusia, metode ini menunjukkan sebuah penjelasan bahwa dalam diri manusia terdapat idea-idea bawaan tertentu yang telah ada sejak awal yang diperoleh bukan dari pengalaman, artinya bahwa manusia berpikir dalam rangka prinsip-prinsip pertama yang terbukti dengan sendirinya, sebab panca indera dan pengalaman hanya dapat memberi informasi tentang obyek khusus yang terbatas dan tidak tetap sehingga tidak dapat memberi pengetahuan yang bersifat universal.
Jadi, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan bantuan akal budi (rasio). Dengan cara ini, maka proses pengetahuan manusia adalah dengan mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari prinsip-prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah terbukti dengan sendirinya, dan dari situ ditarik teorema-teorema sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi kebenaran teorema.
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal budi (rasio) manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya. Oleh karenanya logika silogisme menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini.
Fungsi dari kemampuan rasio manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu; higher reason (rasio tertinggi) dan lower reason (rasio terendah), hasil ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dari keduanya berbeda dimana higher reason menghasilkan ilmu pengetahuan akan suatu kebenaran yang berkaitan dengan kekekalan yang disebut juga dengan sapientia atau wisdom, sementara lower reason menghasilkan ilmu pengetahuan akan suatu kebenaran yang bersifat temporal yang disebut juga dengan scientia atau knowledge.
3) Metode Kontemplatif
Metode ini memandang bahwa metode empiris dan rasional memiliki keterbatasan, sehingga pengetahuan yang dihasilkan pun berbeda dan masing-masing bersifat temporal, maka untuk menajamkan hasil dari kedua metode tersebut dibutuhkan penajaman kemampuan akal yang disebut intuisi, pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi dapat diperoleh secara kontemplatif.
Metode kontemplatif dalam memperoleh pengetahuan bersifat sangat indivdualistik sebab pengetahuan yang dihasilkannya tersebut adalah pengetahuan yang tercerahkan dari percikan sinar pengetahuan Tuhan (al-hikmah al-Ila-hiyyah). Hariri Shrazi menerangkan bahwa intusi (fitrah) bukan semata-mata kolam atau waduk yang menerima penegtahuan, akan tetapi pengetahuan ini murni muncul dari dalam diri manusia itu sendiri dan bukan dari luar, maka mata fitrahlah yang melihat pengetahuan itu dan kemudian lidahnya mengucapkan atau menjelaskan pengetahuan tersebut.
Metode ini tidak hanya dipahami bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bersifat mitologi-spekulatif , tetapi dalam arti yang lebih luas dimana metode kontemplatif menuju kebenaran pengetahuan secara epistemic dapat melalui beberapa tahapan yang didalmnya menjadikan kesadaran empirik-rality dan cognitive-reasion sebagai tahapan awal dengan cara kerjanya yang khas yaitu; (a) empiris inderawi adalah sebagai jalan masuknya sensation dengan merasakan setiap bentuk realitas yang dirasakan dan diamatinya, selanjutnya (b) sensation yang masuk melalui pengamatan dan pengalaman tersebut dikumpulkan, digabungkan, dipilah, dinalar dengan menggunakan kemampuan rasio melalui proses penilaian terhadap obyek fisis yng diketahui melalui penginderaan dan atau pengalaman, tahapan ini selanjutnya disebut dengan tahapan cognition, selanjutnya (c) tahapan yang diberlakukan atas realitas yang telah dikognisikan dalam rasio tersebut kemudian dikontemplasikan dengan eternal truth pada tahapan ini kemudian apa yang dilihat, dirasa dan dipikirkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang disebut dengan intellection. Pada tahapan yang terakhir ini the truth information (al-Khabar al-Sadiq) dan otoritative information (informasi otoritas) memiliki peranan penting untuk kemudian dilakukan dialektika baik itu persifat tekstual, intertekstual, kontektual maupun interkontekstual yang dapat membatu menghasilkan kesimpulan pada ranah truth knowledge.
4) Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan salah satu cara atau prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, dimana ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja pikiran yang diharapkan mempunyai karakteristik tertentu berupa sifat rasional dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa diandalkan. Dalam hal ini metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris) dalam membangun pengetahuan. Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya, dengan didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Metode rasional yang digabungkan dengan metode empiris dalam langkah menuju dan dapat menghasilkan pengetahuan inilah yang disebut metode ilmiah. Jadi, metode ilmiah dianggap sebagai metode terbaik untuk mendapatkan pengetahuan karena metode ini menggunakan pendekatan yang sistematis, obyetif, terkontrol, dan dapat diuji, yang dilakukan melalui metode empiris maupun rasional atau dengan kata lain dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip induktif dan dedutif.
Penggabungan anatara metode rasional dan empiris dilakukan dengan menggunkan langkah-langkah oprasional, yang disebut metode ilmiah dimana dalam metode ini rasionalitas menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sementara empiris memisahkan anatara fakta yang sesuai dengan yang tidak. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa seluruh bentuk teori yang dapat diterima secara ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu; (a) memiliki konsistensi a prioriative yang memungkinkan tidak terjadinya kontaradiksi dalam teori keilmuan secara umum, (b) harus sesuai dan sejalan dengan fakta-fakta empiris, artinya bahwa teori dalam scientific knowledge (ilmu pengetahuan ilmiah) merupakan sekumpulan preposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberikan penjelasan tentang sejumlah fakta dan fenomena. dimana hubungan-hubungan antar preposisi tersebut dapat diperiksa kebenarannya diantara fenomena agar dapat diberlakukan secara universal pada fenomena lain yang sejenis dengan proses yang demikian dapat menghasilkan sebuah prinsip ilmiah dimana sebuah preposisi yang mengandung kebenaran umum didasarkan pada fakta dan fenomena yang telah diamati.
Dalam pandangan Ahmad Tafsir bahwa metode ilmiah tidak datang dengan sesuatu yang baru, tetapi hanya mengulangi ajaran positivisme secara lebih oprasional, dimana dalam ajaran positivisme menyatakan bahwa kebenaran sesuatu harus bersifat logis, terbukti secara empiris, dan terukur secara oprasional, kuantitatif dan tidak mengundang perbedaan pendapat. Dengan demikian metode ilmiah harus melalui langkah yang disebut logico-hypothetico-verivicartive dengan mula-mula membuktikan bahwa hal tersebut logis, kemudian mengajukan hipotesis terhadap logika tersebut, kemudian melakukan pembuktian hipotesis tersebut secara empiris.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa metode dalam telaah umum dalam memperoleh ilmu pengetahuan, melalui prosedur-prosedur khusus. Adapun kata kunci dari prosedur-prosedur tersebut adalah; (a) Logis, (b) Empirik, (c) kejelasan teori atau epistemik, (d) oprasional dan spesifik, (e) hypotethik, (e) verivikative, (f) sistematis, (g) memperhatikan validitas dan realibilitas, (h) obyektif, (i) skeptik, (j) kritis, (k) analitik, (l) kontemplatif.
b. Sumber Ilmu Pengetahuan Diperoleh Menurut Islam
Setelah kita mengetahui betapa tinggi perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan dan betapa Allah SWT mewajibkan kaum muslimin menuntut ilmu, maka Islampun telah mengatur dan menggariskan kepada ummatnya agar mereka menjadi ummat yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan dan dalam segala hal) dan agar mereka tidak salah dan tersesat, dengan memberikan bingkai sumber-sumber pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya sebagai berikut:
1) Al-Qur’an dan as-Sunnah
Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan keduanya adalah langsung dari sisi Allah SWT dan dalam pengawasannya, sehingga terjaga dari kesalahan, dan terbebas dari segala vested interest apapun, karena ia diturunkan dari Yang Maha Berilmu dan Yang Maha Adil. Sehingga tentang kewajiban mengambil ilmu dari keduanya, disampaikan Allah SWT melalui berbagai perintah untuk memikirkan ayat-ayat NYA (QS. Yusuf. [12]:1-3):
Artinya: Alif, laam, raa . Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum Mengetahui. dan menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin dalam segala hal (QS 33/21).
2) Alam semesta
Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk memikirkan alam semesta (QS:3/190-192) dan mengambil berbagai hukum serta manfaat darinya, diantara ayat-ayat yang telah dibuktikan oleh pengetahuan modern seperti, Ayat tentang asal mula alam semesta dari kabut/nebula (QS 41/11).
•
Artinya: Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Ayat tentang urutan penciptaan (QS 79/28-30):
•
Artinya: Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, Dan dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.
Kegelapan (nebula dari kumpulan H dan He yang bergerak pelan),? adanya sumber cahaya akibat medan magnetik yang menghasilkan panas radiasi termonuklir (bintang dan matahari) ? pembakaran atom H menjadi He lalu menjadi C lalu menjadi O baru terbentuknya benda padat dan logam seperti planet (bumi) ? panas turun menimbulkan kondensasi baru membentuk air ? baru mengakibatkan adanya kehidupan (tumbuhan).
Ayat yang menjelaskan bahwa bintang-bintang merupakan sumber panas yang tinggi (QS: 86/3) ayatnya berbunyi:
• •
Artinya: (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.
matahari sebagai contoh tingkat panasnya mencapai 6000 derajat C. Ayat tentang teori ekspansi kosmos (QS 51/47). Ayat bahwa planet berada pada sistem tata surya terdekat (sama’ad-dunya) (QS 37/6) Ayat yang membedakan antara planet sebagai pemantul cahaya (nur/kaukab) dengan matahari sebagai sumber cahaya (siraj) (QS 71/16). Ayat tentang gaya tarik antar planet (QS 55/7). Ayat tentang revolusi bumi mengedari matahari (QS 27/88) . Ayat bahwa matahari dan bulan memiliki waktu orbit yang berbeda2 (QS 55/5) dan garis edar sendiri-sendiri yang tetap (QS 36/40) . Ayat bahwa bumi ini bulat (kawwara-yukawwiru) dan melakukan rotasi (QS 39/5) . Ayat tentang proses terjadinya air susu yang bermula dari makanan (farts) lalu diserap oleh darah (dam) lalu ke kelenjar air susu (QS 16/66) , perlu dicatat bahwa peredaran darah baru ditemukan oleh Harvey 10 abad setelah wafatnya nabi Muhammad SAW. Ayat tentang penciptaan manusia dari air mani yang merupakan campuran (QS 76/2) , mani merupakan campuran dari 4 kelenjar, testicules (membuat spermatozoid), vesicules seminates (membuat cairan yang bersama mani), prostrate (pemberi warna dan bau), Cooper & Mary (pemberi cairan yang melekat dan lendir). Ayat bahwa zygote dikokohkan tempatnya dalam rahim (QS 22/5) , dengan tumbuhnya villis yang seperti akar yang menempel pada rahim. Ayat tentang proses penciptaan manusia melalui mani (nuthfah), zygote yang melekat (‘alaqah), segumpal daging/embryo (mudhghah), dibungkus oleh tulang dalam misenhyme (‘idhama)? tulang tersebut dibalut oleh otot dan daging (lahma) (QS 23/14).
3) Diri manusia
Allah SWT memerintahkan agar manusia memperhatikan tentang proses penciptaannya, baik secara fisiologis/fisik, sebagaimana firman Allah berbunyi:
Artinya: Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? (QS:86/5). maupun psikologis/jiwa manusia tersebut, sebagaimana firmannya:
Artinya: Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS 91/7-10).
4) Sejarah
Allah SWT memerintahkan manusia agar melihat kebenaran wahyu-Nya melalui
lembar-lembar sejarah, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf [12):111).
Jika manusia masih ragu akan ilmu Allah tentang kebenaran wahyu-Nya dan akan datangnya hari pembalasan, maka perhatikanlah kaum Nuh, Hud, Shalih, Fir’aun, dan sebagainya, yang kesemuanya keberadaannya dibenarkan dalam sejarah hingga saat ini.
3. Tradisi Keilmuan Islam
Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Quran (al-Baqarah [2]:185). Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran menempatkan ilmu dan ilmuwan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia tentang apa yang tidak diketahuinya.
Disamping itu, Alquran menghargai panca indera dan menetapkan bahwasanya indera tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim.
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dan ilmu lainnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?
Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Al-Quran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinil, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Manusia. Dua pemikir Muslim yang secara intens menggagas dan mengembangkan paradigma atau gugus pikir keilmuan Islam, dia adalah Alparsalan Acikgenc, Guru Besar Filsafat pada Fatih University Istambul Turki. Ia mengembangkan empat paradigma atau pandangan dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan Islam, yaitu: (1) iman sebagai dasar struktur dunia (worldstructure, iman); (2) ilmu sebagai struktur pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm); (3) fikih sebagai struktur nilai (value structure, al-fiqh); dan (4) kekhalifahan sebagai struktur manusia (human structure, khalîfah).
Dalam menjelaskan pandangan dunia Islam yang di dalamnya terdapat struktur keilmuan yang menjadi gugus fikir atau paradigma keilmuan Islam ia menyatakan:
As it is seen all structures are dominated by a doctrinal concept around which a network of integrated concepts and notions are formed. The world structure is the framework from which our conception of the universe and humankind in it arises. A person having such a mental framework in mind gives meaning to existence according to this structure. It is, as such, the most fundamental framework on which all other structures are built. It is clear from the Qur'an that this structure has three fundamental elements: God, prophethood and the idea of a final judgment, all of which lead to an understanding of man, religion and knowledge, as suchit constitutes the fundamental metaphysics of Islam. These fundamental concepts are integrally woven into the Islamic vision of reality and truth, which, as an architectonic mental unity, acts as the foundation of all human conduct, and as the general framework out of which follow all other frameworks. Thus comes next the knowledge structure as a fundamental element of the Islamic worldview. Since the activity at hand is science we need to examine only the frameworks established thus far. Therefore, I shall not discuss the value and human structures in this context.
Walaupun pada zaman dahulu peradaban islam pernah mengalami masa keemasan dan memberi sumbangan ilmu pengetahuan yang besar terhadap seluruh umat manusia, sekarang ini islam masih tertinggal jauh dari negara-negara Barat.
Beberapa penyebab lemahnya tradisi keilmuan dalam masyarkat muslim menurut Azyumardi Azra adalah:
a) Lemahnya masyarakat ilmiah
Terkait dengan sumber daya, dapat kita lihat bahwa proporsi dari mahasiswa di negara muslim yang mengambil jurusan sains hanya sedikit, mereka lebih tertarik pada bidang-bidang humaniora. Di samping itu dalam masyarakat muslim tidak adanya budaya meneliti dan berpikir.
b) Kurang integralnya kebijaksanaan sains nasional
Hampir seluruh wilayah negara-negara muslim belum atau tidak mempunyai kebijaksanaan dan perencanaan nasional yang jelas dan terpadu dalam rangka pengembangan sains. Mereka lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi.
c) Tidak memadainya anggaran penelitian ilmiah
Hampir seluruh negara-negara muslim, anggaran untuk penelitian yang sifatnya ilmiah sangat kecil dan tidak menduduki tempat yang signifikan dalam program perencanaan anggaran nasional, pertumbuhan anggarannya hanya berkisar antara 0,1-0,3 % dari GNP.
d) Kurangnya kesadaran di sektor ekonomi tentang pentingnya penelitian ilmiah
Negara-negara muslim dalam kebijaksanaan pembangunan sangat berorientasi pada pembangunan ekonomi dengan titik tekan pertumbuhan ekonomi tersebut. Karenanya, tidak mengherankan jika yang memegang kendali pembangunan adalah seorang ekonom yang tidak tertarik dengan penelitian ilmiah.
e) Kurang memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi dan pusat informasi.
Fasilitas, informasi dan juga dokumentasi bahkan semuanya yang berkaitan dengan pengembangan IPTEK dalam negara-negara muslim sangat terbatas dan kurang sekali. Dan ini merupakan salah satu kelemahan pokok yang menghalangi pengembangan keilmuan di masyarakat tersebut.
f) Isolasi ilmuwan
Situasi lainnya yang mencemaskan ialah terisolasinya ilmuan dari masyarakat muslim dari perkembangan ilmu secara global, yang hal tersebut akan menjadikan faktor penghambat pengembangan keilmuan di negara atau masyarakat muslim tersebut.
g) Birokrasi, restriksi dan kurangnya intensif
Sains jelas akan lebih dapat berkembang dan bermanfaat jika ditangani dalam atmosfir yang bebas atau dengan restrikasi-restrikasi minimal. Jaring-jaring birokrasi yang terlalu ketat akan membunuh kreatifitas dan lembaga riset di negara-negara muslim yang sering tidak dapat bergerak karena banyaknya birokrasi dan restrikasi yang mencekam.
Selain pokok-pokok diatas kekurangan dari masyarakat muslim: “semua orang muslim kurang berkarya yang sesuai dengan sunnatullah dalam menangani dunia. Mayoritas masyarakat muslim tinggal di kawasan sub tropis, yang mana sumber daya alam masih tersedia dan mendukung dalam melangsungkan kehidupan. Kurangnya persatuan dan kesatuan antara umat islam, kurangnya kebutuhan cendekiawan muslim akan informasi”.
Demikian beberapa masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Jika negara-negara muslim serius untuk menangani ketertinggalannya membangun kembali peradaban islam dengan tradisi keilmuannya yang khas, maka niscaya masalah-masalah diatas akan segera ditemukan solusinya. Jika tidak maka nama besar peradaban islam hanya tinggal sejarah dan rekonstruksinya hanya tinggal slogan saja.
4. Pengertian globalisasi
5. Upaya dalam Membangkitkan Tradisi Keilmuan Islam di Era Global
a) Membangun Tradisi Membaca
Tradisi ini merupakan inti dari tradisi Islam, dimana Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk selalu membaca seperti ayat pertama yang turun kepada nabi Muhammad SAW untuk di sampaikan kepada umatnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ilmu pengetahuan itu diawali dengan proses membaca baik ditinjau dari makna etimologi maupun terminologi.
Yang dimaksud dengan membaca sebbagai konsep sebuah tradisi islam itu baik berupa membaca Al-Qur’an (kitab) maupun referensi-referensi lain ataupun membaca dalam konteks melakukan sebuah tadabbur(membaca ayat-ayat kauniah) seperti membaca kejadian (fenomena) alam. Membaca dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dalam pengembangan ilmu dan tekhnologi, serta syarat pertama dalam membangun peradaban.
Dalam sejarah peradaban Islam, kemajuan ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan perhatian dan pengamalan perintah membaca dan menulis. Dengan kata lain, semakin intens dan luas pembacaan umat Islam, semakin tinggi peradaban Islam, begitu sebaliknya. Membaca merupakan kunci pembuka atau jalan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, membaca juga menjadi tuntunan pertama yang diberikan allah swt kepada manusia. Jadi kebangkitan tradisi keilmuan Islam bisa di dapat kembali dengan meningkatkan kualitas pendidikan setiap individu muslim, yaitu dimulai dengan mmbaca.
b) Memangun Budaya Penelitian dan Forum Kajian Ilmiah
Konsep yang kedua ini adalah merupakan implementasi dari konsep membaca seperti yang dijelaskan di atas. Konsep ini berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat lapangan yang didasarkan pada kajian pustaka (kajian teori).
Setelah beberapa orang peneliti melakukan sebuah kajian pustaka dan meletakkan dasar dari sebuah teori dalam lapangan penelitian, ditambah dengan adanya forum kajian ilmiah, konsorsium, seminar dan sebagainya, maka sebuah disiplin ilmu akan lebih bersifat kebenaran. Sudah barang tentu hal tersebut didasarkan pada aspek perkembangan yang terjadi baik perkembangan pola pikir maupun perkembangan teori.
Maka konsep yang kedua ini bisa dipandang sebagai konsep pemersatu umat dan tradisi untuk mencapai kepada tujuan Islam diturunkan ke muka bumi, yaitu sebagai jawaban atas pertanyaan baik pemikiran klasik hingga modern, bahkan postmodernisme sekalipun ( Islam sebagai rahmatan lil’alamin)
c) Tradisi Budaya Menterjemahkan Litelatur dari Eropa dan Barat
Proses penterjemahan besar-besaran dalam dunia Islam yang terkenal adalah pada periode klasik atau lebih tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya Al- Makmun ( dinasti Abbasiyah). Proses ini melibatkan pemerintah dalam hal ini penanggung jawab dan penyandang dana dan para cendikiawan pada masa itu.
Literatur yang diterjemahkan adalah buku-buku para pemikir (filosof) barat terutama Yunani yang kemudian hasil dari buah pemikiran mereka disempurnakan dengan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, sehingga melahirkan para pemikir muslim yang bukan hanya dikenal dikalangan muslim saja namun buah pemikiran mereka diakui dalam dunia Eropa maupun Barat.
Seiring dengan perjalanan waktu, kini Islam harus kita akui kalah dengan dunia Eropa dan Barat. Terlepas dari pertikaian internal yang terjadi di kalangan muslim itu sendiri, seperti perselisihan antar golongan muslim dalam hal bentuk ibadah, konsep bermasyarakat dan sebagainya. Namun yang perlu dicatat bahwa buah dari pemikir- pemikir. Ilmuwan Eropa dan Barat sudah selangkah lebih maju dengan berbagai macam konsep dan teori yang dibuktikan dengan banyaknya literatur dari Eropa dan Barat yang dipakai di berbagai forum kajian ilmiah. Tentunya umat Islam semestinya tidak tinggal diam. Jika Eropa dan Barat menyerap buah pemikiran para ilmuan muslim klasik, maka saat ini kita juga dapat menyerap pemikiran-pemikiran dari Eropa dan Barat.
Maka konsep tradisi yang ketiga ini merupakan napak-tilas dari apa yang pernah dilakukan oleh umat Islam pada zaman klasik. Bedanya adalah bahwa saat ini kita perlu menterjemahkan literatur-literatur Eropa dan barat. Sudah barang tentu hasil dari proses penterjemahan ini harus didasarkan pada kemauan keras untuk melahirkan berbagai disiplin ilmu sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang dikombinasikan dengan globalisasi. Sehingga Islam akan kembali merasakan kejayaannya.
C. Kesimpulan
D. Daftar Pustaka
Suhar AM, Filsafat Umum Konsepsi sejarah dan Aliran ( Jakarta: Gaung Persada Press,2009)
Aripin Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu, (Bandung: Alfabeta,2013)
Surajiyo, Filsafat Ilmu; Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
Muhammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: ANDI, 2007
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
A. Soni Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta : Kanisus, 2001)
Jerome R Ravertz, The Philosophy of Science (Oxford University Press, 1982) diterj. Saut Pasaribu, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup Bahasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Andre Winoto, Augistine’s Theory of Knowledge (www.buletinpillar.org), 28-12-2013)
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta : Rajawali Press, 2010)
Al-Gazali, al-Munqiz min al-Dalal, diterj. Masyhur Abadi, Setitik Cahaya dalam Kegelapan (Surabaya: Progressif, 2002)
Muhyiddin Hairi Shirazi, Mans Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya, Tikai Ego dan Fitrah (Jakarata: Al-Huda, 2010).
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2001).
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2010).
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010).
Kementerian Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012).
Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan oleh Judi Al.Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran” , Semarang: Penerbit CV.Wicaksana, 1989.
Quraish shihab, Membumikan Alquran, Bandung: Penerbit Mizan, 1992.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005.
Alparslan Acikgenc, Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam & Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003.
MADRASAH DAN PRANATA SOSIAL
MADRASAH DAN PRANATA SOSIAL
Oleh : Laeli Sangadah
A. Pendahuluan
Sesungguhnya pendidikan adalah masalah besar dan sangat penting yang aktual sepanjang zaman, karena pendidikan orang dapat menjadi maju, dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu mengolah alam yang di karuniai oleh sang pencipta yaitu Allah SWT… kepada insan di dunia, setiap insan dianjurkan untuk terus belajar dari ayunan hingga ke liang lahad.
Berbicara mengenai pendidikan Islam tentulah sangat luas yaitu baik pendidikan dari ruang maupun waktu, adapun pendidikan yang di peroleh di dunia ini melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Bertitik tolak dari itu seperti yang kita ketahui perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang penuh dengan sekelumit persoalan dalam keberadaan di kancah persaingan globalisasi yang semakin pesat. Yang membuka sudut pandang para pemikir pendidikan Islam mengalami perkembangan yang tidak hanya larut dengan tuntutan keagamaan karena seseorang yang hidup didunia harus mampu memberikan peran pada alam hidupnya.
Pendidikan Islam adalah termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Untuk itu penulis akan membahas masalah madrasah dan kaitannya dengan pranata sosial.
B. Madrasah
1. Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata keterangan tempat (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Madrasah merupakan isim makna dari kata darasa yang berarti tempat duduk untuk belajar. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula. (Dakir, 2009:..)
Lembaga pendidikan madrasah telah di kenal di timur tengah hanya saja pendidikan pada saat itu sebagai pendidikan keilmuan tingkat tinggi, Pada abad 11-12 M Wazir Bani Saljuk, Nizam al-Mulk mendirikan madrasah Nizamiyah di Bagdad sebuah pendidikan yang bertujuan memperkaya khazanah lembaga pendidikan di masyarakat Islam. (Indra Hasbi, 1995: 205) Menurut George Makdisi mengungkapkan di kutip oleh Ainurrafiq bahwa akar sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam berawal dari masjid pada abad ke 8-9, awal perkembangan madrasah karena pemerintahan memiliki andil yang cukup besar seperti Nidzam al-Mulk 1063 M, Nur al-Din Zanky 1146-1174 M dsb. Dan perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya (Dawan Ainurafik, …: 33) disini jelas terlihat antara fihak pemerintah dan swasta bekerja sama dalam melakukan perkembangan madrasah sehingga madrasah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang maju dan berkembang adalah sesuatu yang sangat utopis, inilah awal mulanya sejarah perkembangan madrasah di dunia Islam. Berbeda halnya jika di dalam negeri madrasah adalah pendidikan yang memberikan pengajaran Islam pada tingkat rendah dan menengah.
2. Latar Belakang Munculnya Madrasah di Indonesia
Pada masa penjajahan Jepang sikap Pemerintahan Jepang terhadap Islam berbeda dengan sikap Belanda, Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, mereka lebih mementingkan keperluan kepentingan perang, sehingga mereka lebih memilih pro dengan umat Islam, yang menjadi mayoritas di Indonesia untuk mendapatkan dukungan. Lain halnya dengan Belanda yang membatasi ruang gerak Islam baik pendidikan maupun organisasi-organisasi Islam. Hal ini dilakukan Belanda karena selain bertindak sebagai kaum penjajah, mereka juga memiliki misi yang tak kalah penting yaitu menyebarkan agama kristen.
Dengan dikeluarkannya kebijakan Jepang tentang upacara sei Keirei bagi sekolah-sekolah menuai banyak protes diantaranya adalah dua orang tokoh Islam yang memiliki andil cukup besar terhadap perkembangan Islam. Adalah Dr. Hamka, reformis Minangkabau yang baru dibebaskan dari pembuangan di Jawa barat pada masa kolonial Belanda. Beliau tanpa takut-takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran shinto yang mengharuskan menyembah kaisar dan matahari terbit dengan Islam yang monotheisme. Tokoh lainnya adalah Abdul Kahar Muzakar, seorang pemimpin pemuda Muhammadiyah, yang langsung menyatakan ketidak setujuannya di depan prof. Ozaki. Berkat dua orang tokoh ini akhirnya menghasilkan peraturan baru yang membebaskan umat Islam dari pelaksanaan upacara Sei kierei.( Mustafa A, (1999: 99)
Pendidikan Islam berkembang secara pesat pada masa penjajahan Jepang terjadi di Minangkabau. Pada tahun pertama masuknya tentara Jepang, ulama-ulama Minangkabau bersatu padu menghadapi politik yang akan dijalankan oleh Jepang dengan mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau, yang berpusat di Bukit Tinggi, dan ditunjuk Mahmud Yunus sebagai penasihat dikantor residen Padang. Berkat usahanya, kepala Jawatan menyetujui untuk memasukan pendidikan agama Islam ke sekolah-sekolah pemerintah pada waktu itu. Mahmud Yunus juga diperbolehkan untuk melaksanakan pengajaran di Majelis Islam Tinggi sehingga diadakan pelatihan-pelatihan guru agama dibawah pimpinan Mahmud Yunus. Kemudian pada bulan Maret 1945, Mahmud Yunus diangkat oleh pemerintah Jepang sebagai pemeriksa Agama di Sumatera Barat. Sejak saat itu bertambah banyaklah pelajaran agama yang masuk ke sekolah-sekolah pemerintah. Madrasah Awaliyah pun berkembang pesat pada masa ini. Di Minangkabau madrasah awaliyah diadakan di sore hari dengan lama belajar satu setengah jam perhari. Materi pelajaran yang diberikan berupa : membaca al Quran, ibadah, akhlak dan keimanan.
Di Kalimantan didirikan pula perkumpulan madrasah-madrasah Islam Amuntasi yang disingkat menjadi IMI, Ikatan Madrasah Islam Amuntasi ini didirikan pada tanggal 15 Maret 1945. Adapun tujuan dari perkumpulan tersebut adalah : Menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas berdirinya perguruan-perguruan Islam, dan memperbaiki organisasi dan pengelola perguruan-perguruan Islam yang telah ada, agar sesuai dengan keinginan masyarakat luas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu langkah yang diambil adalah dengan mendirikan perguruan-perguruan Islam. (Dawan Ainurafik, …: 101)
Bertitik tolak dari hal tersebut maka latar belakang perumbuhan madrasah di Indonesia didorong oleh: a) sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam, b) usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren kearah kesuatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan kelulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, yaitu ijazah dengan peluang pekerjaan, c) dan sebagai upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pasantren dengan sistem modern dari hasil akulturasi sekolah yang di pelopori oleh belanda,( Mujib Abdul, 2008: 281) d) menguaknya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Hingga munculnya kelompok organisasi yang bertujuan pengembalian kepada al-Qur’an dan hadis semagat nasionalisme dalam melawan penjajahan belanda yang dimulai pada abad 20.
Mukti Ali mensinyalir bahwa pada masa penjajahan Belanda ini, pendidikan terpecah menjadi dua golongan yaitu pendidikan yang sekuler dan pendidikan Agama. Oleh karena itu madrasah merupakan pleace bertemunya proses pembelajaran antara pesantren dengan sekolah. Karel A. Steenbrik menguraikan bahwa madrasah yang berdiri di indonesia adalah Adabiah School, Madrasah Diniah Zainuddin Labai, Madrasah Nahdlatul Ulama dll. (Maksum, 1999: 98)
3. Perkembangan Madrasah
Perubahan ke madrasah dari pendidikan pesantren dan sekolah yaitu sekolah umum yang bercirikan Islam dengan cakupan tanggung jawab: a) sebagai lembaga pencerdasan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya, khususnya masyarakat islami, b) sebagai lembaga pelestarian budaya keislaman bagi masyarakat Indonesia dan sebagai lembaga pelopor bagi peningkatan kualitas masyarakat Indonesia dan muslim khususnya.( Syarifudin, 2005: 209)
Madrasah dikelola oleh Kementerian Agama, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia mengupayakan untuk menjembantani kensenjangan antara model pendidikan sekolah dengan pesantren, jika melihat sejarah madrasah yang sangat di dukung oleh pemerintah dan bangsawan berbeda halnya dengan Indonesia yang kurang memperhatikannya namun terdapat sedikit celah perhatian pemerintah pada tahun 1975 munculnya Surat keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang terdiri dari menteri agama, pendidikan dan kebudayaan serta dalam negeri yang memuat materi pelajaran pada madrasah 70% umum dan 30 % agama, Steenbrink beranggapan bahwa membuat kerugian terhadap madrasah. Namun jika meneropong dari sudut dikotomi sangat positif dengan adanya SKB 3 menteri ini antara ilmu agama dengan ilmu umum.( Assifudin, A Janah, 2010 :170)
Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya, tidak hanya itu madrasah merupakan pengembangan dari pesantren yang sudah memasukkan materi pelajaran umum. Materi pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan tingkat kecerdasan murid, dimulai dengan pelajaran yang mudah terus dilanjutkan secara berangsur sampai selesai tingkat pengetahuan dasar. Cara penyajian juga sudah disusun sedemikian sehingga mudah dipahami oleh anak-anak.
Kurikulum pada bidang studi agama Islam di bagi kepada beberapa sub yaitu fiqh, akidah Akhlak, al-Qur-an Hadis, sejarah kebudayaan Islam, didalam badaya sekolah siswi memakai jilbab dan siswa memakai celana panjang pada proses pembelajaran berlangsung siswa membaca doa dan ketika memulai dan mengakhiri pembelajaran mengucapkan salam. Subtansi perubahan kebijakan madrasah dari sekolah mengkhususkan diri pada kajian agama islam dalam rangka mengarahkan, membimbing, membina dan melahirkan pendidikan madrasah yang qualified mampu mengembangkan kognitif, akfektif dan psikomotor.(Ainurafik Dawan, …: 58)
Pada kepemimpinan pendidikan modern, perlu memperhatikan hal-hal pokok yang harus di miliki, yaitu : 1) visioner, mempunyai wawasan luas dan matang sehingga mampu merumuskan visi dan misi serta selalu bertindak proaktif dalam mengikuti perkembangan dan dinamisasi program pendidikan dalam kehidupan. 2) pemersatu, mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda –beda disuatu lembaga pendidikan sehingga menjadi kekuatan sinergi hingga bermanfaat bagi semua fihak. 3) pemberdaya, pemimpin ialah seorang moivator, pendorong, suka menolong orang lain, dalam diri pemimpin terccermin pribadi yang demokrat, inklusif, deligatif dan komunikatif, empatif dan responsif. 4) pengendalian emosional yang tidak hanya pada akal tetapi juga hati, 5) integritas yang harus taat pada prinsip moral dan hukum dalam semua aspek kehidupan termasuk kehidupan akademik.( assifudin A Janah, 2010: 78)
Disini jelas tampak bahwa peran madrasah sangat srategis terhadap pendidikan Islam di Indonesia karena sebagai wadah berkumpulnya pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan Islam hingga mampu mencetak kader yang intelektual tinggi berbasis keislaman. Yang diharapkan dapat menjadi khalifah yang sempurna di muka bumi ini, walaupun tidak di pungkiri perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap madrasah masih minim.
C. Pranata Sosial
1. Pengertian Pranata Sosial
Pranata sosial merupakan terjemahan dari sosial institution, walaupun para sarjana sosiologi belum mempunyai kata sepakat tentang hal itu. Karena sosial institusional selain diartikan pranata sosial, juga diartikan bangunan sosial yang merupakan terjemahan dari soziale gebilde (bahasa jerman), bahkan ada pula yang mengartikan lembaga kemasyarakatan. Dalam bukunya Abdullah Idi (1992: 147), Bruce J. Cohen mengatakan, untuk memberikan suatu batasan, dapat dikatakan bahwa lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkret lembaga kemasyarakatan tersebut adalah asosiasi (assosiation).
Beberapa definisi pranata sosial menurut ahli sosiologi adalah sebagai berikut:
a. Koenjaraningrat (1990), berpendapat bahwa pranata sosial merupakan unsur-unsur yang mengatur perilaku para warga masyarakat yang saling berinteraksi.
b. Soekanto (1987), berpendapat bahwa pranata sosial merupakan lembaga kemasyarakatan yang lebih menunjukan suatu bentuk dan sekaligus mengandung pengertian-pengertian abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan tertentu yang menjadi cirri dari sautu lembaga.
c. Mac Iver dan Charles (1988), berpendapat bahwa pranata sosial merupakan lembaga kemasyarakatan sebagai tata cara suatu prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam suatu kelompok kemasyarakatan atau sosial.
d. Dan masih banyak pendapat-pendapat lain yang dikemukakan oleh para ahli sosiologi lainnya.
Pranata sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, pada dasar mempunyai beberapa fungsi sebagai :
a. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkahlaku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
b. Menjaga keutuhan masyarakat
c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan system pengendalian sosial (sosial control ). Artinya system pengawasan masyarakat terhadap tingkahlaku anggota-anggotanya.
Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula memperhatikan secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
2. Ciri-ciri Pranata Sosial
Secara lengkap ciri-ciri pranata sosial diberikan oleh Gillin and Gillin dalam General features of institution diuraikan secara umum sebagai berikut:
a. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
b. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan cirri dari semua lembaga kemasyarakatan.
c. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
d. Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga bersangkutan seperti bangunan, peralatan, mesin dan lain sebagainya.
e. Lambang-lambang juga merupakan cirri khas dari lembaga-lembaga kemasyarakatan.
f. Suatu kembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis ataupun tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku,dan lain-lain.
Selain ciri-ciri, lembaga sosial mempunyai sifat-sifat umum seperti, menurut Harjono (1986:139) sebagai berikut:
a. Pranata sosial berfungsi sebagai satu unit dalam system kebudayaan yang merupakan satu kesatuan bulat.
b. Pranata sosial biasanya mempunyai berbagai tujuan yang jelas
c. Pranata sosial biasanya relative kokoh
d. Pranata sosial dalam melakukan fungsinya sering mempergunakan hasil kebudayaan material
e. Sifat karakteristik yang ada pada pranata sosial adalah lambang,dan
f. Pranata sosial biasanya mempunyai tradisi tertulis atau lisan yang jelas
Beberapa syarat pranata atau lembaga menurut Suhardi (1987 : 66-67) yaitu :
a. Harus memiliki aturan atau norma hidup dalam ingatan atau yang tertulis.
b. Aktitas-aktivitas bersama itu harus memiliki suatu system hubungan yang didasarkan atas norma-norma tertentu.
c. Aktitas-aktivitas bersama itu harus memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang didasari dan dipahami oleh kelompok masyarakat bersangkutan.
d. Harus memiliki peralatan dan perlengkapan.
Dengan demikian bahwa pranata atau lembaga merupakan kelompok individu yang memiliki norma dan berhubungan secara langgeng, dimana anggotanya memiliki fungsi masing-masing untuk mendukung fungsi pranata itu sendiri.
3. Tipe-tipe Pranata Sosial
Tipe-tipe pranata sosial dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut pandang. Menurut Gillin dan Gillin pranata sosial dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Crescive institusions dan enacted institutions merupakan klasifikasi dari sudut perkembangan. Crescive institusions disebut juga lembaga-lembaga paling primer, lembaga yang tak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat. Contoh hak milik, agama, dan seterusnya. Sedangkan enacted institusions dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu. Misalnya lembaga utang piutang, lembaga perdagangan, dan lain- lain.
b. Dari sudut nilai yang diterima dari masyarakat, timbul klasifikasi lembaga sosial berdasarkan basic institusionsdan subsidiary. Basic institusions dianggap sebagai lembaga sosial yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib,misalnya keluarga, sekolah-sekolah Negara, dan sebagainya. Subsidiary institusions dianggap yang kurang penting, seperti misalnya kegiatan rekreasi.
c. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan approved atau sosial sanctioned instiitutions denganunsanctioned institusions. Apporoved atau sosial sancationed institusional adalah lembaga-lembaga yang diterima masyarakat seperti sekolah, perusahaan dagang dan lain-lain.unsanctioned institutions yang ditolak keberadaannya oleh masyarakatitu sendiri tidak berhasil memberantasnya. Misalnya kelompok penjahat, perampok dan lain-lain.
d. Perbedaan antara general institusions dengan restricted institutions timbul apabila klasifikasi terebut berdasarkan pada fektor-penyebabnya.misalnya agama adalah suatu general institutions karena hamper dikenal oleh seluruh masyarakat di dunia.sedangkan agama islam, kristen,budha,hindu dan lain-lain. Merupakan restected institutions yang dianut oleh masyrakat-masyarakat dunia.
e. Dilihat dari fungsi lembaga sosial dibedakan oleh operative institutions atau regulative institutions. operative institutions berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti lembaga industri. Sedangkan regulative institutions bertujuan untuk mengawasi adapt istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak lembaga itu sendiri.
4. Perubahan Pranata Sosial
Kebudayan pranata sosial dalam kehidupan masyarakat,bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat statis. Karena fungsinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang beraneka ragam selalu berubah-ubahmaka pranata sosial pun dapat mengalami perubahan nya sulit dilakukan. Hal ini sangat tergantung pada beberapa hal seperti:
a. Proses internalisasi pranata sosial yang dialami sejak lahir sampai meninggal, merupakan proses yang relative lama.
b. Karena adanya control sosial, yang ada dasarnya merupakan suatu mekanisme dalam kehidupan masyarakat yang dijalankan untuk menjamin agar individu mematuhi norma-norma yang berlaku.
5. Proses Pertumbuhan Pranata Sosial
Norma dalah wujud konkrit dari nilai yang merupakan pedoman, berisi keharusan bagi individu atau masyarakat. Norma dianggap positif apabila dianjurkan atau diwajibkan oleh lingkungan sosialnya. Sedangkan norma dianggap negatif, apabila tindakan atau prilaku seseorang dilarang dalam lingkungan sosialnya. Karena norma sosial sebagai ukuran untuk berperilaku sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan norma yang telah disepakati, maka diperlukan sanksi bagi individu yang melanggar norma. Karena seseorang yang melanggar norma harus diberikan penyadaran bahwa perbuatannya tersebut tidak sesuai dengan aturan.
Norma-norma yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah kekuatan mengikatnya, adajuga yang kuat. Berkenaan hal tersebut dikenal ada empat pengertian norma, sebagai berikut :
a. Cara (usage), penyimpangan terhadap cara tidak akan mendapat hukuman yang berat, tetap hanya celaan. Contohnya orang yang makan bersuara, cara makan tanpa sendok dan garpu.
b. Kebiasaan (folkways), perbuatan yang berulang-ulang sehingga menjadi kebiasasan. Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat dibandingkan cara. Bila tidak dilakukan dianggap menyimpang dari kebiasaan umum dan masyarakat. Memberi hormat kepada orang lain yang lebih tua, mendahulukan kaum wanita waktu antri dan sebagainya.
c. Tata kelakuan (mores), kebiasaan yang dianggap tidak hanyasebagai perilaku saja, tetapi diterima sebagai norma-norma pengatur.
d. Adat istiadat (costum), yaitu tata kelakuan yang menyatu dengan pola-pola perilaku masyarakat dan memiliki kekuatan mangikat yang lebih.bila dilanggar akan mendapat sanksi keras dari masyarakat.
Dalam masyarakat dikenal beberapa norma yang mengatur pola perilakusetiap individu sebagai berikut :
a. Norma tidak tertulis yang dilakukan (informal) masyarakat dan telah melembaga, yang lambat laun akan berupa peraturan dan tertulis pula, walupun sifatnya tidak baku tetapi tergantung pada kebutuhan saat masyarakat, hal ini berupa gabungan dari folk-sway dan mores,seperti kebutuhan keluarga, cara membesarkan anak. Dari lembaga terkecil sampai masyarakat, akan mengenal norma prilaku, nilai cita-cita dan system hubungan sosial. Karena itu suatu lembaga mencakup :
1) Seperangkat pola prilaku yang telah distandarisasi dengan baik
2) Serangkaian tata kelakuan, sikapdan nilai-nilai yang mendukung,dan
3) Sebentuk tradisi, ritual, upacara simbolik dan pakaian adapt serta perlengkapan yang lain.
b. Norma tertulis (formal), biasanya dalam bentuk peraturan atau hokum yang telah yang telah dibakukan dan berlaku dimasyarakat. Contoh :
1) Norma yang umum berhubungan dengan kepentingan dan ketentraman warga masyarakat banyak.seperti mengganggu gadis yang lewat dll.
2) Norma itu bertujuan mengatur dan menegakan kehidupan masyarakat, agar meresa tentram dan aman dari segala gangguan yang dapat merasahkan.
c. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan individu atau sekelompok masyarakat berupa iseng atau meniru tindakan orang lain. Contohnya: individu meniru pakaiannya atau penampilan kelompok musik tentunya.
Berdasarkan klasifikasi diatas, ada beberapa norma yang umumnya berlaku dalam kehidupan suatu masyarakat, sebagai berikut:
a. Norma kesopanan / etika, adalah norma yang berpangkal pada aturan tingkah laku yang diakui masyarakat, seperti cara berpakaian, cara bersikap dan berbicara dalam pergaulan. Contohnya : memakai pakaian yang minim bagi perempuan tidak umum adalah tidak sopan.
b. Norma kesusilaan, norma ini mengatur bagaimana seseorang dapat berperilaku secara baik dengan pertimbangan moral atau didasarkan pada hari nurani atau ahlak manusia. Contohnya : tindakan pembunuhan atau perkosaan tentu banyak ditolak oleh masyarakat dimanapun, bagi masyarakat Indonesia berciuman di depan masyarakat umum dianggap melanggar norma susila, walaupun mereka pasangan suami istri.
c. Norma agama, didasarkan pada ajaran atau akidah suatu agama.dalam agama terdapat perintah dan larangan yang harus dijalankan pemeluknya.
d. Norma hukum, merupakan jenis norma yang paling jelas dan kuat ikatannya karena merupakan norma yang baku. Didasarkan pada perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dengan ketentuan yang sah dan terdapat penegak hokum sebagai pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi. Contohnya : seorang terdakwa melakukan pembunuhan terancana divonis oleh hakim dengan dikenakan hukuman minimal 15 tahun.
e. Norma kebiasaan,didasarkan pada hasil perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga manjadi sautu kebiasaan. Contohnya : mudik di hari raya.
Selain hal-hal diatas, agar aturan-aturan atau norma-norma sosial dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat, maka norma-norma tersebut harus melembaga (institutionalized). Agar norma sosial bisa melembaga, maka sebagai berikut:
a. Diketahui;
b. Dipahami;
c. Ditaati;
d. Dihargai.
D. Madrasah (Pendidikan ) dan Fungsinya
Pendidikan merupakan salah satu fungsi yang harus dilakukan dengan sebaik- baiknya oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara terpadu untuk mengembangkan fungsi pendidikan. Kualitas pendidikan bukan hanya dilihat dari kualitas individu, melainkan juga berkaitan erat dengan kualitas kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam bukunya Abdullah Idi ( 2011) Jalaludin mengatakan, manusia sebagai mahluk sosial memerlukan pendidikan khusus. Pendidikan khusus itu diarahkan kepada usaha membimbing dan pengembangan potensi manusia agar serasi dengan lingkungan sosialnya. Berdasarkan ruang lingkup sosial tersebut perlu dirumuskan pendidikan khusus, dengan konsep perumusannya : (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan kelembagaan yang terdiri atas: (a) kelembagaan formal seperti madrasah ataupun pesantren hingga kejenjang perguruan tinggi; dan (b) kelembagaan non formal, seperti majlis ta’lim , baik di masjid maupun majlis lainnya.
1) Pranata Pendidikan
Pranata pendidikan merupakan salah satu pranata yang penting dalam masyarakat, karena merupakan salah satu wadah nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat. Secara historis pendidikan sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan dibagi menjadi tiga macam ( Tri Pusat Pendidikan) sebagai berikut:
1) Pendidikan dalam Keluarga ( Informal)
Ketika kehidupan manusia masih sederhana orang tua mendidik anaknya atau anak belajar pada orang tuanya/orang lebih tua di lingkungannya, bahkan tidak jarang anak belajar dari alam sekitarnya. Lingkungan pendidikan keluarga adalah bentuk yang sebenarnya dari konsep pendidikan selama hidup (life long education).
2) Pendidikan dalam Sekolah ( Formal)
Sesuai perkembangan jaman untuk melengkapi pendidikan informal maka dibentuklah pranata pendidikan formal, seperti sekolah umum, meliputi : play group, TK s/d Perguruan Tinggi maupun sekolah yang khusus, seperti sekolah agama dan sekolah luarbiasa.
3) Pendidikan dalam Masyarakat (Non Formal)
Pendidikan masyarakat berupa pelayanan pendidikan ketrampilan praktis, seperti kursus: ketrampilan,menjahit,bengkel,bahasa,komputer,dsb.
Fungsi pendidikan di sekolah selanjutnya sedikit banyak dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di lingkungan masyarakat.
2) Pranata Pendidikan memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :
a. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
b. Mengembangkan bakat perorangan demi kepuasan pribadi.
c. Melestarikan kebudayaan serta berbagai transmisi kebudayaan masyarakat.
d. Mengurangi pengendalian orang tua melalui sekolah.
e. Memperpanjang masa remaja, karena kedewasaan anak terhambat sebab secara ekonomi masih menggantungkan orang tua
f. Mobilitas sistem kelas sosial, melalui sekolah dapat menjadi saluran mobilitas sosial bagi siswa ke status yang lebih tinggi.
E. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, Ruswandi.dkk. 2006. Perkembangan Masyarakat dan Budaya. Bandung : UPI Press.
Rukandi, Kanda.dkk. 2006. Perspektif Sosial Budaya. Bandung : UPI Press.
Rohman, Arif.dkk. 2003. Sosiologi. Klaten : PT Intan Prawira.
Ardiwinata, S. Jajat. dkk. 2008. Sosiologi Antropologi Pendidikan. Bandung: UPI Press
Ningrum, Epon. Dkk.2006. Tempat Ruang dan Sistem Sosial. Bandung. UPI Press
http://dakir.wordpress.com/2009/04/18/pendidikan-periode-madrasah/
Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: Ridamulia, 1995.
Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen .., hal. 33
A. Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Maksum, Madarasah, Sejarah dan Perkembangannya, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999
Syarifuddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Press Jakarta, 2005
Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Yogyakarta : SUKA –Press UIN Sunan Kalijaga, 2010
Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen ..,
PROBLEMATIKA HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA
PROBLEMATIKA HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Oleh : Laeli Sangadah
A. Pendahuluan
Ibadah haji merupakan penyempurna keislaman seseorang, karena merupakan salah satu identitas sebagai seorang muslim. Mereka yang menyandang gelar haji adalah mereka yang telah melaksanakan ritual ibadah haji ke Tanah suci Makkah di Jazirah Arab, sehingga gelar haji tersebut sangat sakral di masyarakat khususnya Indonesia.
Problematika haji di Indonesia dimulai sejak kemunculan tokoh Islam yang bernama Jamaluddin al Afghani melalui gerakan Pan Islam. Gerakan tersebut mengusik ketenangan pemerintah Kolonial Belanda sehingga mengeluarkan beberapa aturan dalam pelaksanaan ibadah haji, diantaranya memperketat gelar haji pada seseorang. Hal tersebut mengundang pro dan kontra baik di kalangan pemerintah kolonial Belanda maupun anggota gerakan Pan Islam itu sendiri.
B. Pembahasan
1. Gerakan Pan Islam
Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah.
Kebijakan kolonoalis dan imperialis Belanda sejak kedatangannnya hingga akhir kekuasaannnya di Indonesia terhadap agama-agama cukup bervariasi, disamping tidak feer, mereka melakukan standar ganda, terhadap Islam dan agama lainnya, khususnya perlakukan istimewa terhadap Kristen yang baru tumbuh dengan kedatangah Kolonialis dan inperialis Belanda sendiri. Karena itu penting untuk menjadi perhatian, dan hal ini sejak kehadirannya di Indonesia telah membatasi berbagai lapangan sosial dan keagamaan Umat Islam yang mayoritas itu.
Pada awal kehadirannya, Kolonialis Belanda, tidak melihat adanya perbedaan dikalangan Umat Islam yang mereka anggap sebagai lawan, kecendrungan politik Kolonialis Belanda menempuh cara menghancurkan setiap perlawanan, dengan mengahncurkan kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam, dan dengan mengembangkan agama non Islam (Kristen) sebagai tandingan, dari dalam mereka melakukan upaya penggeseran agama, meski hal ini tidak memiliki daya tarik bagi umat Islam, dan mereka hanya dapat menarik suku-suku terasing, yang belum memiliki agama. Sedang dari luar melakukan serangan terhadap kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam.
Bagian terahir abad ke-20, bergaung keinginan umat Islam untuk mendirikan pemerintahan sendiri, hal ini dilihat penjajah sebagai tantangan untuk mempertahankan dominasi kolonial mereka atas tanah jajahan yang notabene Umat Islam. Kecaman terhadap politik liberal yang diterapkan di Indonesia seiring dengan gerakan Pan- Islamisme yang telah mendapat perhatian besar dinegeri-negeri muslim, maka sejak tahun 1970, sistem tanam paksa (culture steelsel) dalam politik liberal yang merupakan eksploitasi tidak etis oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda dihentikan. Kecaman itu muncul dari kaum sosialis Belanda, hal ini mendapat perhatian dari pemerintah kolonial, dismaping munculnya kekuatan Jepang sebagai kekuatan tandingan yang memaksa pemerintah kolonial Belanda mengubah sistem politiknya di negeri jajahan.
2. Problematika Ibadah Haji
Haji berarti secara harfiah adalah melaksanakan keinginan tentang sesuatu. Tapi haji yang dimaksud disini ialah memenuhi pelaksanaan salah satu rukun Islam yang bersyarat yakni pergi ke Mekkah dan Arafah serta melaksanakan rukun haji yang telah ditentukan.
Haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang berada dalam urutan terakhir umat muslim. Haji hukumnya adalah wajib bagi yang mampu mengerjakannya, baik mampu secara keuangan maupun secara kesehatan rohani dan jasmani. Allah swt menjanjikan balasan surga dan pengampunan dosa kepada hambanya yang telah melaksanakan haji dengan mabrur. Jarak tempuh yang jauh, iklim, suhu, disana yang berbeda menuntut muslim asal Indonesia untuk mempunyai kesabaran dan keadaan sehat serta stamina yang kuat dalam melaksanakan panggilan Allah.
Dalam sistem otoritas dan administrasi Islam, Indonesia cukup menjadi perhatian yang sangat tinggi dari pemerintahan Hindia Belanda dalam hal jamah haji yang akan berangkat ke tanah suci Mekkah. Indonesia dan Mekkah suda sejak lama memiliki hubungan yang baik, jumlah jama’ah Indonesia hampir setiap tahun mencapai angka ribuan dalam melaksanakan ibadah haji.
Sejarah telah mencatat, bahwa dalam pelaksanaannya, haji di Indonesia banyak sekali menerima peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia Belanda. Seperti yang di instruksikan oleh Daendels, ia merupakan Gubernur Jenderal pertama yang memerintahkan agar jama’ah haji Indonesia memakai paspor atau pas jalan, dengan alasan agar jama’ah mendapatkan keamanan dan ketertiban dalam menjalankan ibadah haji. Meskipun masi ada alasan politik lain yang lebih diutamakan. Lebih jelas seperti yang dikemukakan oleh Tomas Stamford Raffles:
Ibadah haji ke mekkah sebagai salah satu bahaya politik, beliau beranggapan bahwa para haji itu setelah pulang dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci dan mempunyai kekuatan gaib (supernatural power), karena itu dikhawatirkan mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang Barat .
a. Gelar Haji pada masa Pemerintah Kolonial Belanda
Predikat haji pada masa pemerintah kolonial, aktivitas ini benar-benar mendapat perhatian besar dari pemerintah Belanda, karena seorang yang telah melaksanakan ibadah haji itu, dianggap memiliki karismatik atau memiliki jiwa kepemimpinan yang handal, dan dapat menggerakkan dan mengendalikan masyarakat dimana mereka berada., maka tidak heran jika pada waktu itu sering keluar peraturan-peraturan baru yang dinilai kadang-kadang tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat, peraturan-peraturan yang sering menyudutkan dan mempersulit ummat Islam dalam merealisasikan aktivitas keagamaan mereka, terumatama melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang lebih dikenal dengan politik haji tersebut didasari atas kekhawatiran kepada:
Pertama, kedudukan haji dalam masyarakat sangat dihormati, oleh karena itu ia berpeluang menjadi pemimpin, sebagai seorang pemimpin ia dapat menggerakkan orang hususnya untuk menentang penjajah. Keduah, kenyataan sejarah menunjukkan adanya pemberontakan yang dipelopori para haji, seperti kasus perang jihad Palembang, perang jihad Cilegon dan pemberontakan Mutiny di India. Ketiga, haji itu sifatnya kosmopolitan, dimana para jama’ah haji bertemu dengan jama’ah haji dari seluruh dunia, dengan demikian wawasan mereka lebih luas, dan kemungkinan meluasnya pengaruh Pan Islamisme di tanah air.
Bagian dari penyebab pemerintah Belanda benar-benar memperhatikan perkembangan haji Indonesia adalah ketakutan mereka akan hubungan jama’ah dengan gerakan Pan Islamisme yang dipelopori oleh Jamal al-Din al-Afghani, sebab pada waktu itu gerakan ini telah mewarnai perjalanan politik dunia Islam.
Tentang Mukimin Haji dan Kota Makkah, Snouck Hurgronje menyimpulkan, “di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh tubuh penduduk muslimin di Indonesia”. Snouck Hurgronje meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu menghawatirkan pengaruh para haji, satu-satunya cara yang paling tepat adalah menghambatnya secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat pribumi ke arah lain. “Setiap langkah pribumi menuju kebudayaan kita, berarti menjauhkan dari keinginan untuk naik haji” .
Sisi lain penyebab kekhawatiran Kolonial terhadap jama’ah haji adalah;
Pada zaman penjajahan Belanda, para jama’ah haji betul-betul mendapatkan pencerahan politik berkat ibadah hajinya di Mekkah, mereka yang pulang haji menjadi kian berani melawan pemerintah kafir Belanda. Inilah yang menyebabkan Belanda menghawatirkan dampak haji secara politis. Karena itu pada tahun 1908 Belanda perna melarang umat Islam Indonesia berhaji, ini lebih baik dari pada terpaksa harus menembak mati mereka.
Sebenarnya makna politik ibadah haji itu masih banyak arti politis lainnya, seperti arti politik ibadah haji tercakup dalam apa yang disebut hikma haji, yaitu “Manfaat yang dapat dipersaksikan oleh jama’ah haji saat mereka menunaikan ibadah haji (QS.Al-Haj 28), Ayat ini menunjukkan saat menjalankan ibadah haji kaum muslimin akan mendapatkan berbagai manfaat yang sangat strategis dalam segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik.
Sementara Alwi Sihab menjelaskan bahwa secara umum kebijakan Islam yang disarankan Snock Hurgronje didasarkan atas tiga prinsip utama.
Pertama dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ibada dalam Islam, rakyat Indonesia harus diberikan kebebasan menjalankannya. Logika di balik kebijakan ini membiarkan munculnya keyakinan dalam fikiran banyak orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka. Ini merupakan wilayah yang paling pekah bagi kaum muslimin karena hal itu menyentuh nilai-nilai keagamaan. Dengan demikian pemerintah akan berhasil merebut hati kaum muslimin, dan sejalan dengan itu akan mengurangi pengaruh perlawanan kaum muslim panatik terhadap pemerintah kolonial.
Prinsip kedua adalah sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial, atau aspek muamalat dalam Islam, seperti perkawinan, warisan, wakaf dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berusaha mempertahankan dan menghormati keberadaannya, meskipun demikian pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam di atas dengan lembaga-lembaga sosial Barat. Diharapkan pula bahwa perlahan-lahan sembari berasosiasi dengan orang Belanda, orang Indonesia akan menyadari keterbelakangan lembaga-lembaga sosial Islam milik mereka dan menuntut untuk digantikannya lembaga-lembaga itu dengan lembaga-lembaga sosial model Barat, dan akhirnya hubungan yang lebih erat antara penguasa Belanda dan rakyat Hindia Belanda berkembang dengan sendirinya.
Perinsip yang ketiga dan paling penting, adalah bahwa dalam masalah-masalah politik, pemerintah dinasihati untuk tidak menoleransi kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap penyebaran gagasan apapun yang dapat membangkitkan semangat kaum Muslim di Indonesia untuk menentang pemerintah kolonial, pemangkasan gagasan-gagasan seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang bersipat politis, yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintah kolonial Belanda. Lagi-lagi, dalam hal ini Hurgronje menekankan pentingnya kebijakan asosiasi kaum Muslim dengan peradaban Barat. Dan agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai, pendidikan model Barat harus di buat terbuka bagi rakyat pribumi. Sebab hanya dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau setidaknya dikurangi.
Visi Hurgronje mengenai Indonesia yang lebih baik, yakni yang berasosiasi dengan negara induk Belanda secara damai dan berjangka panjang, memperkuat visi mengenai perlunya meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang secara sosial dan kultural ditata menurut model peradaban Barat. Hurgronje tampak berkeyakinan bahwa peningkatan seperti ini pada akhirnya akan mempersempit jurang yang makin melebar antar masyarakat Indonesia yang terbelakang dan masyarakat Belanda yang modern. Agar kekuasaan Belanda dapat dipertahankan terus secara damai, setiap upaya harus diambil untuk menghilangkan jarak kultural ini.
Dari ungkapan tentang penjelasan mengenai dasar pemikiran Snouck Hurgronje di atas yang terlahir akibat gerakan Pan Islamisme, dan analisanya tentang potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan Islam dari unsur politik, ternyata kemudian tidak sejalan dengan perkembangan situasi kondisi pribumi, terutama pada duapuluh tahun terakhir (setelah tahun 1913) perkembangan Islam semakin menunjukkan jati diri dan semangat perjuangan menentang kolonial diberbagai daerah terus bergulir.
Pengawasan dan pengaturan haji yang pada awalnya sangat diperketat, yang diperlihatkan melalui politik haji, kemudian perkembangan selanjutnya mengalami pelunakan sikap, hal ini dikarenakan pemahaman pemerintah kolonial terhadap ibadah haji makin tinggi dan tingkat penetrasi keuasaan Belanda makin kuat, perubahan sikap itu dapat kita perhatikan dari beberapa kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana yang dikemukakan oleh Husni Rahim sebagai berikut:
Melalui Beslit pemerintah Belanda tanggal 18 Oktober 1825 No 9 ditetapkan bahwa setiap jamah haji yang akan berangkat ke Mekkah harus membayar pas jalan (reispas) sebanyak 110 gulden, dan bagi yang tidak membeli pas jalan dikenakan denda (boete) 1000 gulden, Beslit No 9 tahun 1825 tersebut kemudian diubah dengan beslit No. 24 tanggal 24 Maret 1831, peraturan ini berupa mengurangi denda bagi yang tidak membeli pas jalan dari 1000 gulden menjadi 220 gulden (dua kali lipat dari harga pas jalan).
Kedua Beslit yang disampaikan secara rahasia itu jelas sekali menunjukkan ketakutan pemerintah terhadap bahaya haji, salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengatasi seketat mungkin calon jama’ah haji yang akan berangkat, usaha ini tampaknya kurang berhasil karena ternyata calon jama’ah haji tidak berkurang malahan bertambah, satu hal yang kurang dipahami oleh orang Belanda, bahwa ibadah haji dalam pandangan orang Islam adalah kewajiban bagi orang yang mampu, oleh karena itu halangan apapun yang datangnya dari factor luar, bukan dari kemampuan dari yang bersangkutan, maka akan diupayakan semaksimal mungkin mengatasinya.
Sikap keras terhadap calon jama’ah haji diperlunak sedikit, ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal (1851-1856) yaitu dengan ditetapkannya Beslit 3 Mei 1852 Nomor 9, beslit ini menggantikan Beslit tahun 1825 dan tahun 1831, dalam Beslit 1852 Nomor 9 ditentukan bahwa pas jalan masih tetap diwajibkan, tetapi gratis dalam pelaksanaannya dan denda juga dihapuskan, pendafataran calon jama’ah haji dilakukan oleh kepala daerah, demikian pula pemberian pas jalan.
Bersamaan dengan ditetapkannya Beslit No.9 tahun 1852, Gubernur Jendral membuat pula instruksi kepada kepala daerah di Jawa dan di luar pulau jawa, untuk tetap mengawasi tindakan para haji dan melaporkan daftar orang-orang yang berngkat dan yang kembali dari Mekkah, sikap ini menunjukkan keberhati-hatian dari Duymaer van Twist terhadap masalah haji, hususnya terhadap daerah-daerah yang termasuk rawan pemberontakan.
b. Gelar Haji pada Gerakan Pan Islam
Gelar haji pada masa Gerakan Pan Islam merupakan hal yang sangat membanggakan karena dengan banyaknya jumlah gelar haji pada masa itu merupakan bukti suksesnya dakwah gerakan Pan Islam. Dimana Gerakan Pan Islam Jamal al-Din al-Afghani menurut Herry Nurdi, memiliki setidaknya lima prinsip dalam kerja dakwahnya yang terlahir pada peristiwa ibadah haji:
1. Menghapuskan kebodohan yang membelenggu kaum muslimin.
2. Berusaha keras untuk mengikis taqlid dan menganjurkan ijtihad demi menggali
hikmah, ilmu Allah dan Sunnah Rasulullah.
3. Membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menentang penjajahan Barat yang
dipelopori Inggris pada saat itu.
4. Fungsi ulama harus dikembalikan sebagai lentera bagi kaum muslimin.
5. Perjuangan demi terlaksananya keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan
politik harus diperjuangkan di mana saja kaum muslimin berada.
c. Gelar Haji bagi pribadi Muslim pada masa Pemerintah Kolonial Belanda
Pergi menunaikan ibadah haji merupakan perjalanan spiritual dambaan bagi setiap muslim untuk menyempurnakan rukun Islam. Di samping itu pergi haji juga merupakan upaya meningkatkan kadar keimanan seseorang sebab mereka yang pergi haji diharapkan kualitas keimanannya meningkat atau naik. Namun pada prakteknya pergi haji tidak selalu menaikkan kualitas seseorang. Ada yang sudah haji namun tingkah lakunya masih sama saja bahkan ada yang lebih buruk.
Di Indonesia, setiap orang yang pulang dari ibadah haji mendapat gelar Haji (H) atau Hajah ( Hj), hal tersebut menjadi tradisi secara turun temurun bahkan sebuah keharusan, dimana gelar tersebut di sematkan di depan nama asali mereka. Tidak sedikit orang akan marah karena gelar hajinya tidak tercantumkan.
Jadi dalam hal ini menunaikan ibadah haji bukan saja sekedar “pangkat” atau tilel namun juga masalah spiritual.
C. Kesimpulan
D. Daftar Pustaka
Alwi Sihab, 1998, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Missi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan
Husni Rahim, 1998, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Sabili, Meniti Jalan Menuju Mardhotillah. No.4 Tahun XIX 24 Nopember 2011/29 Dzulhijjah 1432
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1988
Nurdi, Herry, Belajar Islam dari Yahudi, Jakarta: Cakrawala, 2006
Langganan:
Komentar (Atom)