Rabu, 22 Januari 2014

PROBLEMATIKA HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA

PROBLEMATIKA HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA Oleh : Laeli Sangadah A. Pendahuluan Ibadah haji merupakan penyempurna keislaman seseorang, karena merupakan salah satu identitas sebagai seorang muslim. Mereka yang menyandang gelar haji adalah mereka yang telah melaksanakan ritual ibadah haji ke Tanah suci Makkah di Jazirah Arab, sehingga gelar haji tersebut sangat sakral di masyarakat khususnya Indonesia. Problematika haji di Indonesia dimulai sejak kemunculan tokoh Islam yang bernama Jamaluddin al Afghani melalui gerakan Pan Islam. Gerakan tersebut mengusik ketenangan pemerintah Kolonial Belanda sehingga mengeluarkan beberapa aturan dalam pelaksanaan ibadah haji, diantaranya memperketat gelar haji pada seseorang. Hal tersebut mengundang pro dan kontra baik di kalangan pemerintah kolonial Belanda maupun anggota gerakan Pan Islam itu sendiri. B. Pembahasan 1. Gerakan Pan Islam Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Kebijakan kolonoalis dan imperialis Belanda sejak kedatangannnya hingga akhir kekuasaannnya di Indonesia terhadap agama-agama cukup bervariasi, disamping tidak feer, mereka melakukan standar ganda, terhadap Islam dan agama lainnya, khususnya perlakukan istimewa terhadap Kristen yang baru tumbuh dengan kedatangah Kolonialis dan inperialis Belanda sendiri. Karena itu penting untuk menjadi perhatian, dan hal ini sejak kehadirannya di Indonesia telah membatasi berbagai lapangan sosial dan keagamaan Umat Islam yang mayoritas itu. Pada awal kehadirannya, Kolonialis Belanda, tidak melihat adanya perbedaan dikalangan Umat Islam yang mereka anggap sebagai lawan, kecendrungan politik Kolonialis Belanda menempuh cara menghancurkan setiap perlawanan, dengan mengahncurkan kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam, dan dengan mengembangkan agama non Islam (Kristen) sebagai tandingan, dari dalam mereka melakukan upaya penggeseran agama, meski hal ini tidak memiliki daya tarik bagi umat Islam, dan mereka hanya dapat menarik suku-suku terasing, yang belum memiliki agama. Sedang dari luar melakukan serangan terhadap kekuatan-kekuatan ulama dan umat Islam. Bagian terahir abad ke-20, bergaung keinginan umat Islam untuk mendirikan pemerintahan sendiri, hal ini dilihat penjajah sebagai tantangan untuk mempertahankan dominasi kolonial mereka atas tanah jajahan yang notabene Umat Islam. Kecaman terhadap politik liberal yang diterapkan di Indonesia seiring dengan gerakan Pan- Islamisme yang telah mendapat perhatian besar dinegeri-negeri muslim, maka sejak tahun 1970, sistem tanam paksa (culture steelsel) dalam politik liberal yang merupakan eksploitasi tidak etis oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda dihentikan. Kecaman itu muncul dari kaum sosialis Belanda, hal ini mendapat perhatian dari pemerintah kolonial, dismaping munculnya kekuatan Jepang sebagai kekuatan tandingan yang memaksa pemerintah kolonial Belanda mengubah sistem politiknya di negeri jajahan. 2. Problematika Ibadah Haji Haji berarti secara harfiah adalah melaksanakan keinginan tentang sesuatu. Tapi haji yang dimaksud disini ialah memenuhi pelaksanaan salah satu rukun Islam yang bersyarat yakni pergi ke Mekkah dan Arafah serta melaksanakan rukun haji yang telah ditentukan. Haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang berada dalam urutan terakhir umat muslim. Haji hukumnya adalah wajib bagi yang mampu mengerjakannya, baik mampu secara keuangan maupun secara kesehatan rohani dan jasmani. Allah swt menjanjikan balasan surga dan pengampunan dosa kepada hambanya yang telah melaksanakan haji dengan mabrur. Jarak tempuh yang jauh, iklim, suhu, disana yang berbeda menuntut muslim asal Indonesia untuk mempunyai kesabaran dan keadaan sehat serta stamina yang kuat dalam melaksanakan panggilan Allah. Dalam sistem otoritas dan administrasi Islam, Indonesia cukup menjadi perhatian yang sangat tinggi dari pemerintahan Hindia Belanda dalam hal jamah haji yang akan berangkat ke tanah suci Mekkah. Indonesia dan Mekkah suda sejak lama memiliki hubungan yang baik, jumlah jama’ah Indonesia hampir setiap tahun mencapai angka ribuan dalam melaksanakan ibadah haji. Sejarah telah mencatat, bahwa dalam pelaksanaannya, haji di Indonesia banyak sekali menerima peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia Belanda. Seperti yang di instruksikan oleh Daendels, ia merupakan Gubernur Jenderal pertama yang memerintahkan agar jama’ah haji Indonesia memakai paspor atau pas jalan, dengan alasan agar jama’ah mendapatkan keamanan dan ketertiban dalam menjalankan ibadah haji. Meskipun masi ada alasan politik lain yang lebih diutamakan. Lebih jelas seperti yang dikemukakan oleh Tomas Stamford Raffles: Ibadah haji ke mekkah sebagai salah satu bahaya politik, beliau beranggapan bahwa para haji itu setelah pulang dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci dan mempunyai kekuatan gaib (supernatural power), karena itu dikhawatirkan mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang Barat . a. Gelar Haji pada masa Pemerintah Kolonial Belanda Predikat haji pada masa pemerintah kolonial, aktivitas ini benar-benar mendapat perhatian besar dari pemerintah Belanda, karena seorang yang telah melaksanakan ibadah haji itu, dianggap memiliki karismatik atau memiliki jiwa kepemimpinan yang handal, dan dapat menggerakkan dan mengendalikan masyarakat dimana mereka berada., maka tidak heran jika pada waktu itu sering keluar peraturan-peraturan baru yang dinilai kadang-kadang tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat, peraturan-peraturan yang sering menyudutkan dan mempersulit ummat Islam dalam merealisasikan aktivitas keagamaan mereka, terumatama melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang lebih dikenal dengan politik haji tersebut didasari atas kekhawatiran kepada: Pertama, kedudukan haji dalam masyarakat sangat dihormati, oleh karena itu ia berpeluang menjadi pemimpin, sebagai seorang pemimpin ia dapat menggerakkan orang hususnya untuk menentang penjajah. Keduah, kenyataan sejarah menunjukkan adanya pemberontakan yang dipelopori para haji, seperti kasus perang jihad Palembang, perang jihad Cilegon dan pemberontakan Mutiny di India. Ketiga, haji itu sifatnya kosmopolitan, dimana para jama’ah haji bertemu dengan jama’ah haji dari seluruh dunia, dengan demikian wawasan mereka lebih luas, dan kemungkinan meluasnya pengaruh Pan Islamisme di tanah air. Bagian dari penyebab pemerintah Belanda benar-benar memperhatikan perkembangan haji Indonesia adalah ketakutan mereka akan hubungan jama’ah dengan gerakan Pan Islamisme yang dipelopori oleh Jamal al-Din al-Afghani, sebab pada waktu itu gerakan ini telah mewarnai perjalanan politik dunia Islam. Tentang Mukimin Haji dan Kota Makkah, Snouck Hurgronje menyimpulkan, “di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh tubuh penduduk muslimin di Indonesia”. Snouck Hurgronje meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu menghawatirkan pengaruh para haji, satu-satunya cara yang paling tepat adalah menghambatnya secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat pribumi ke arah lain. “Setiap langkah pribumi menuju kebudayaan kita, berarti menjauhkan dari keinginan untuk naik haji” . Sisi lain penyebab kekhawatiran Kolonial terhadap jama’ah haji adalah; Pada zaman penjajahan Belanda, para jama’ah haji betul-betul mendapatkan pencerahan politik berkat ibadah hajinya di Mekkah, mereka yang pulang haji menjadi kian berani melawan pemerintah kafir Belanda. Inilah yang menyebabkan Belanda menghawatirkan dampak haji secara politis. Karena itu pada tahun 1908 Belanda perna melarang umat Islam Indonesia berhaji, ini lebih baik dari pada terpaksa harus menembak mati mereka. Sebenarnya makna politik ibadah haji itu masih banyak arti politis lainnya, seperti arti politik ibadah haji tercakup dalam apa yang disebut hikma haji, yaitu “Manfaat yang dapat dipersaksikan oleh jama’ah haji saat mereka menunaikan ibadah haji (QS.Al-Haj 28), Ayat ini menunjukkan saat menjalankan ibadah haji kaum muslimin akan mendapatkan berbagai manfaat yang sangat strategis dalam segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik. Sementara Alwi Sihab menjelaskan bahwa secara umum kebijakan Islam yang disarankan Snock Hurgronje didasarkan atas tiga prinsip utama. Pertama dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ibada dalam Islam, rakyat Indonesia harus diberikan kebebasan menjalankannya. Logika di balik kebijakan ini membiarkan munculnya keyakinan dalam fikiran banyak orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka. Ini merupakan wilayah yang paling pekah bagi kaum muslimin karena hal itu menyentuh nilai-nilai keagamaan. Dengan demikian pemerintah akan berhasil merebut hati kaum muslimin, dan sejalan dengan itu akan mengurangi pengaruh perlawanan kaum muslim panatik terhadap pemerintah kolonial. Prinsip kedua adalah sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial, atau aspek muamalat dalam Islam, seperti perkawinan, warisan, wakaf dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berusaha mempertahankan dan menghormati keberadaannya, meskipun demikian pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam di atas dengan lembaga-lembaga sosial Barat. Diharapkan pula bahwa perlahan-lahan sembari berasosiasi dengan orang Belanda, orang Indonesia akan menyadari keterbelakangan lembaga-lembaga sosial Islam milik mereka dan menuntut untuk digantikannya lembaga-lembaga itu dengan lembaga-lembaga sosial model Barat, dan akhirnya hubungan yang lebih erat antara penguasa Belanda dan rakyat Hindia Belanda berkembang dengan sendirinya. Perinsip yang ketiga dan paling penting, adalah bahwa dalam masalah-masalah politik, pemerintah dinasihati untuk tidak menoleransi kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap penyebaran gagasan apapun yang dapat membangkitkan semangat kaum Muslim di Indonesia untuk menentang pemerintah kolonial, pemangkasan gagasan-gagasan seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang bersipat politis, yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintah kolonial Belanda. Lagi-lagi, dalam hal ini Hurgronje menekankan pentingnya kebijakan asosiasi kaum Muslim dengan peradaban Barat. Dan agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai, pendidikan model Barat harus di buat terbuka bagi rakyat pribumi. Sebab hanya dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau setidaknya dikurangi. Visi Hurgronje mengenai Indonesia yang lebih baik, yakni yang berasosiasi dengan negara induk Belanda secara damai dan berjangka panjang, memperkuat visi mengenai perlunya meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang secara sosial dan kultural ditata menurut model peradaban Barat. Hurgronje tampak berkeyakinan bahwa peningkatan seperti ini pada akhirnya akan mempersempit jurang yang makin melebar antar masyarakat Indonesia yang terbelakang dan masyarakat Belanda yang modern. Agar kekuasaan Belanda dapat dipertahankan terus secara damai, setiap upaya harus diambil untuk menghilangkan jarak kultural ini. Dari ungkapan tentang penjelasan mengenai dasar pemikiran Snouck Hurgronje di atas yang terlahir akibat gerakan Pan Islamisme, dan analisanya tentang potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan Islam dari unsur politik, ternyata kemudian tidak sejalan dengan perkembangan situasi kondisi pribumi, terutama pada duapuluh tahun terakhir (setelah tahun 1913) perkembangan Islam semakin menunjukkan jati diri dan semangat perjuangan menentang kolonial diberbagai daerah terus bergulir. Pengawasan dan pengaturan haji yang pada awalnya sangat diperketat, yang diperlihatkan melalui politik haji, kemudian perkembangan selanjutnya mengalami pelunakan sikap, hal ini dikarenakan pemahaman pemerintah kolonial terhadap ibadah haji makin tinggi dan tingkat penetrasi keuasaan Belanda makin kuat, perubahan sikap itu dapat kita perhatikan dari beberapa kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana yang dikemukakan oleh Husni Rahim sebagai berikut: Melalui Beslit pemerintah Belanda tanggal 18 Oktober 1825 No 9 ditetapkan bahwa setiap jamah haji yang akan berangkat ke Mekkah harus membayar pas jalan (reispas) sebanyak 110 gulden, dan bagi yang tidak membeli pas jalan dikenakan denda (boete) 1000 gulden, Beslit No 9 tahun 1825 tersebut kemudian diubah dengan beslit No. 24 tanggal 24 Maret 1831, peraturan ini berupa mengurangi denda bagi yang tidak membeli pas jalan dari 1000 gulden menjadi 220 gulden (dua kali lipat dari harga pas jalan). Kedua Beslit yang disampaikan secara rahasia itu jelas sekali menunjukkan ketakutan pemerintah terhadap bahaya haji, salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengatasi seketat mungkin calon jama’ah haji yang akan berangkat, usaha ini tampaknya kurang berhasil karena ternyata calon jama’ah haji tidak berkurang malahan bertambah, satu hal yang kurang dipahami oleh orang Belanda, bahwa ibadah haji dalam pandangan orang Islam adalah kewajiban bagi orang yang mampu, oleh karena itu halangan apapun yang datangnya dari factor luar, bukan dari kemampuan dari yang bersangkutan, maka akan diupayakan semaksimal mungkin mengatasinya. Sikap keras terhadap calon jama’ah haji diperlunak sedikit, ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal (1851-1856) yaitu dengan ditetapkannya Beslit 3 Mei 1852 Nomor 9, beslit ini menggantikan Beslit tahun 1825 dan tahun 1831, dalam Beslit 1852 Nomor 9 ditentukan bahwa pas jalan masih tetap diwajibkan, tetapi gratis dalam pelaksanaannya dan denda juga dihapuskan, pendafataran calon jama’ah haji dilakukan oleh kepala daerah, demikian pula pemberian pas jalan. Bersamaan dengan ditetapkannya Beslit No.9 tahun 1852, Gubernur Jendral membuat pula instruksi kepada kepala daerah di Jawa dan di luar pulau jawa, untuk tetap mengawasi tindakan para haji dan melaporkan daftar orang-orang yang berngkat dan yang kembali dari Mekkah, sikap ini menunjukkan keberhati-hatian dari Duymaer van Twist terhadap masalah haji, hususnya terhadap daerah-daerah yang termasuk rawan pemberontakan. b. Gelar Haji pada Gerakan Pan Islam Gelar haji pada masa Gerakan Pan Islam merupakan hal yang sangat membanggakan karena dengan banyaknya jumlah gelar haji pada masa itu merupakan bukti suksesnya dakwah gerakan Pan Islam. Dimana Gerakan Pan Islam Jamal al-Din al-Afghani menurut Herry Nurdi, memiliki setidaknya lima prinsip dalam kerja dakwahnya yang terlahir pada peristiwa ibadah haji: 1. Menghapuskan kebodohan yang membelenggu kaum muslimin. 2. Berusaha keras untuk mengikis taqlid dan menganjurkan ijtihad demi menggali hikmah, ilmu Allah dan Sunnah Rasulullah. 3. Membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menentang penjajahan Barat yang dipelopori Inggris pada saat itu. 4. Fungsi ulama harus dikembalikan sebagai lentera bagi kaum muslimin. 5. Perjuangan demi terlaksananya keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan politik harus diperjuangkan di mana saja kaum muslimin berada. c. Gelar Haji bagi pribadi Muslim pada masa Pemerintah Kolonial Belanda Pergi menunaikan ibadah haji merupakan perjalanan spiritual dambaan bagi setiap muslim untuk menyempurnakan rukun Islam. Di samping itu pergi haji juga merupakan upaya meningkatkan kadar keimanan seseorang sebab mereka yang pergi haji diharapkan kualitas keimanannya meningkat atau naik. Namun pada prakteknya pergi haji tidak selalu menaikkan kualitas seseorang. Ada yang sudah haji namun tingkah lakunya masih sama saja bahkan ada yang lebih buruk. Di Indonesia, setiap orang yang pulang dari ibadah haji mendapat gelar Haji (H) atau Hajah ( Hj), hal tersebut menjadi tradisi secara turun temurun bahkan sebuah keharusan, dimana gelar tersebut di sematkan di depan nama asali mereka. Tidak sedikit orang akan marah karena gelar hajinya tidak tercantumkan. Jadi dalam hal ini menunaikan ibadah haji bukan saja sekedar “pangkat” atau tilel namun juga masalah spiritual. C. Kesimpulan D. Daftar Pustaka Alwi Sihab, 1998, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Missi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan Husni Rahim, 1998, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu Sabili, Meniti Jalan Menuju Mardhotillah. No.4 Tahun XIX 24 Nopember 2011/29 Dzulhijjah 1432 Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1988 Nurdi, Herry, Belajar Islam dari Yahudi, Jakarta: Cakrawala, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar